Front Pembela Islam dan sejumlah elemen masyarakat yang tergabung dalam Aliansi Nasional Anti-Komunis (ANAK) NKRI selalu saja berulah untuk menggelar aksi dukungan terhadap Proses Hukum Rizieq Shihab melalui pengerahan massa. Rencana aksi tersebut, dapat dikatakan sebagai buntut dari kasus kerumunan di Petamburan, Jakarta Pusat. Aliansi yang dimotori PA 212, FPI, dan GNPF Ulama ini rencananya akan menuntut Rizieq bebas dari jerat hukum tanpa syarat.

Sementara itu, walau dimotori kelompok-kelompok yang membuat aksi 212 pada 2016 silam, sejumlah pengamat pesimistis bisa memberi dorongan untuk membuat kasus Rizieq terhenti. Sosiolog dari Universitas Andalas, Indradin, menilai anggapan itu bisa muncul karena persoalan yang diangkat dalam aksi tersebut tidak mewakili kelompok Islam secara umum seperti pada aksi 212 silam yang terkait perkara dugaan penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang kala itu Gubernur DKI Jakarta. “Isunya berbeda. Kalau isu penistaan agama biasanya lebih mendapat dukungan. Kalau isunya pribadi tentu berbeda,”.

Oleh sebab itu, sambungnya, sulit untuk mengatakan bahwa suara dari kelompok FPI cs itu mewakili umat Islam secara keseluruhan di Indonesia. Hal ini tentu berbeda dari aksi demonstrasi yang digelar berjilid-jilid untuk mendesak aparat hukum memproses Ahok empat tahun silam. Meskipun demikian, kata dia, tak dapat dipungkiri bahwa suatu kelompok biasanya akan memiliki ikatan emosional antarsesama. Apalagi, saat ini pimpinan yang mereka sebut Imam Besar tersebut terjerat kasus hukum.

Selain itu, pengerahan massa dalam jumlah besar untuk datang ke ibu kota negara pun diperkirakan akan sulit. Apalagi, dalam masa pandemi Covid-19 aparat kepolisian dan Satgas Covid pastinya sudah berjaga dan memiliki skema operasinya tersendiri. Khususnya, dalam menyikapi sejumlah pergerakan simpatisan Rizieq yang menolak proses hukum. “Sulit menggerakkan massa yang besar seperti sekarang ini, karena petugas akan berusaha mengantisipasi lebih awal, karena tentu aksi ini telah diperkirakan sejak awal, ketika akan dilakukan penangkapan terhadap pemimpin mereka,”.
Disisi lain, Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto mengatakan, sikap polisi menghadapi aksi massa Rizieq ini akan menunjukkan bagaimana kredibilitas penegakan hukum protokol kesehatan oleh kepolisian. Idealnya, polisi harus tegas membubarkan apabila memang massa yang hadir menimbulkan kerumunan dan melanggar protokol kesehatan. Hal itu tentu menegaskan bahwa tidak ada upaya penegakan hukum yang tebang pilih bagi aparat.