Sebagaimana gencarnya pemberitaan media mengenai proses peradilan atas Rizieq Shihab, (RS) hingga kini masih menjadi polemik, terutama bagi pendukungnya yang tidak puas atas proses peradilan tersebut.

Kita ketahui, Rizieq Shihab (RS) kini sedang menjalani sidang atas tiga pelanggaran yang disangkakan.

Pertama adalah Kasus Petamburan, dimana RS ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan karena menyebabkan kerumunan saat acara Maulid Nabi SAW dan pernikahan putrinya di Petamburan, Jakarta Pusat pada 14 November 2020. RS ditetapkan sebagai tersangka setelah polisi melakukan gelar perkara dan memeriksa sejumlah saksi. Dia dijerat Pasal 160 dan 216 KUHP.

Kedua adalah Kasus Megamendung. Penyidik Bareskrim Polri menetapkan status RS sebagai tersangka pada kasus kerumunan di Megamendung,

Kasus Ketiga adalah Kasus Test Swab di RS UMMI, Bogor, Jawa Barat. Selain RS, penyidik juga menetapkan dua tersangka lain yakni Direktur Utama RS UMMI dr Andi Tatat dan menantu Hanif Alatas.

Seperti kita ketahui juga di media massa bahwa pada saat proses sidang berlangsung pun terjadi kericuhan dan kegaduhan, karena RS dan Tim Kuasa Hukum nya melakukan walkout karena tidak bersedia dengan sidang online.

Atas ketiga kasus tersebut banyak pihak, terutama pendukungnya tidak puas dan menuding dengan bermacam-macam tudingan, seperti zalim, tidak adil, kriminalisasi ulama dll. Padahal apa yang dilakukan aparat penegak hukum sudah sesuai dengan aturan yang berlaku.

Indriyanto Seno Adji, pakar hukum dari Unversitas Indonesia mengomentaqri saat RS walkout dari sidang menyatakan bahwa RS telah menghalangi proses hukum. Tindakan walkout merupakan obstruction of justice dalam bentuk misbehaving in court. Tindakan ini dapat menjadi blunder, karena RS akan kehilangan hak untuk membela diri yang diberikan oleh hukum.

Jika RS melakukan walkout untuk ketiga kalinya, maka hak untuk membela diri bisa dicabut, dan dianggap melawan pengadilan. Sehingga bisa jadi hukumannya diperberat, karena tidak patuh pada aturan. RS bisa mendekam lebih lama lagi di penjara, mengingat gugatan praperadilan juga ditolak.

Terkait upaya RS dan Tim Hukumnya yang melakukan pra peradilan, Kabid Hukum Polda Metro Jaya, Kombes Hengki mengatakan proses penyelidikan, penyidikan, dan penetapan tersangka RS dalam kasus kerumunan di Petamburan, Tanah Abang, Jakarta Pusat, sudah sesuai aturan hukum yang berlaku.

“Kami melaksanakan proses penegakan hukum terutama Ditreskrimum Polda Metro Jaya itu sudah sesuai dengan aturan, berdasarkan profesional, transparan, dan akuntabel,” ujar Kabid Hukum Polda Metro Jaya, Kombes Hengki di PN Jakarta Selatan.

Menurut Kombes Hengki penetapan tersangka RS sudah sesuai aturan, yakni berdasarkan minimal dua alat bukti yang sah sebagaimana Pasal 184 Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
“Kami menetapkan tersangka itu sesuai dengan ketentuan aturan yang berlaku yang telah ada.
Jadi penyidik itu menetapkan seorang tersangka berdasarkan dua alat bukti sebagaimana dalam ketentuan Pasal 184 KUHAP”.

Sementara itu, Hakim Akhmad Sahyuti yang menyidang pra peradilan yang diajukan RS menyatakan bahwa aparat kepolisian telah sah dan sesuai prosedur dalam memproses hukum RS dalam kasus penghasutan kerumunan hingga terjadi pelanggaran protokol kesehatan di Petamburan, Jakarta Pusat November 2020.

Hal itu menjadi salah satu alasan Hakim menolak permohonan pra peradilan yang diajukan oleh RS di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
“Menimbang, dari alat bukti, saksi dan ahli, hakim berpendapat penetapan tersangka didukung alat bukti yang sah,” kata Sahyuti saat membacakan amar putusannya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Jadi semua proses hukum yang saat ini sedang dijalani RS sudah sesuai aturan hokum yang berlaku. Sehingga apa yang ditudingkan oleh pendukung RS dengan berbagai tudingan sebagaimana diatas, tidak mendasar.

Oleh karena itu masyarakat perlu memilah dan bijak dalam menerima informasi yang diterima, khususnya masalah proses peradilan RS.

Semoga dapat difahami ya.