Rizieq Shihab dituntut bersalah oleh jaksa karena karena melanggar Pasal 14 ayat (1) UU RI Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1.Ia dituntut enam tahun penjara dalam kasus tes usap (swab test) di RS Ummi Bogor. Tuntutan itu dibacakan jaksa penuntut umum (JPU) di ruang sidang utama Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur, Kamis (3/6/2021).

“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Muhammad Rizieq bin Husein Shihab alias Habib Muhammad Rizieq selama enam tahun,” kata jaksa. Hukuman itu dipotong kurungan penjara.

Adapun Rizieq didakwa menyiarkan berita bohong soal hasil swab test-nya di RS Ummi. Bersama Dirut RS Ummi Andi Tatat dan menantunya, Muhammad Hanif Alatas, Rizieq dinilai menghambat proses pelacakan rantai penularan Covid-19 di Kota Bogor.
Menyijapi fenomena tersebut, peneliti senior Makara Strategic Insight, Iwan Freddy, SH.,M.Si, mengatakan bahwa tuntutan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak berlebihan, karena Rizieq Shihab terbukti secara sah dan meyakinkan menyebar berita bohong secara disengaja, sehingga tersebut telah telah menimbulkan keonaran. Supremasi hukum perlu untuk dilaksanakan sehingga outcome dari crime control model (CCM) tercapai, yaitu ketaatan terhadap hukum yang berlaku.

“Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak berlebihan, karena Rizieq Shihab terbukti secara sah dan meyakinkan menyebar berita bohong secara disengaja, sehingga tersebut telah telah menimbulkan keonaran. Supremasi hukum perlu untuk dilaksanakan sehingga outcome dari crime control model tercapai, yaitu ketaatan terhadap hukum yang berlaku. Hal tersebut yang menjadi urgensi dari kasus Rizieq Shihab”, ujar Iwan Freddy.