ilustrasi unjuk rasa menolak rasisme Papua

zona-damai.com – Munculnya peringatan hari rasisme di Papua tak bisa terlepas dari peristiwa yang pernah terjadi di Surabaya dan Malang pada 2019 lalu yang kemudian disusul adanya kerusuhan di sejumlah titik wilayah Papua. Peristiwa yang memakan banyak korban tersebut tersebut terjadi berdekatan dengan peringatan hari ulang tahun Republik Indonesia. Berangkat dari adanya kejadian tersebut kemudian memicu sejumlah kelompok oposisi untuk menjadikan peristiwa rasisme sebagai momentum peringatan yang harapannya akan diingat di setiap bulannnya. Pada tahun 2021 lalu, salah satu kelompok separatis Papua, Komite Nasional Papua Barat (KNPB) mengklaim sekaligus mengimbau kepada masyarakat Papua bahwa setiap tanggal 16 Agustus diperingati sebagai hari rasisme. Ajakan tersebut juga disambut oleh anggota Petisi Rakyat Papua (PRP) yang kemudian mendeklarasikan secara sepihak bahwa 16 Agustus sebagai hari rasisme Indonesia terhadap masyarakat Papua.

Kini, memasuki pertengahan bulan Agustus. Sejumlah riak-riak kecil kembali bermunculan dalam unggahan di media sosial. KNPB melalui ketua I, Warpo Wetipo dan Juru bicara Internasional Victor Yeimo secara runtut menjelaskan ajakan untuk memperingati hari rasisme pada 16 Agustus nanti. Secara persuasif mereka berusaha meyakinkan pembaca agar turut serta dalam peringatan tersebut. Namun, dalam ajakannya juga menyinggung kebijakan pemekaran provinsi. Sebuah penilaian sinis dan tak percaya masih mereka keluarkan demi misi kelompok agar masyarakat tak lagi mendukung kebijakan tersebut.

Peringatan Rasisme Sebagai Komoditi Eksistensi Kelompok Separatis

Tak ada yang menginginkan kejadian yang disebut sebagai rasisme di Surabaya dan Malang pada 2019 terjadi lagi, dimanapun tempatnya. Dalam konteks bemasyarakat, peristiwa yang kemudian menimbulkan banyak korban dan kerugian tersebut seyogyanya tak perlu menjadi sebuah peringatan yang bersifat perayaan. Sebuah kejadian yang bermuatan negatif hendaknya menjadi refleksi sekaligus evaluasi agar di masa depan tak terjadi lagi. Bukan dengan sebuah peringatan yang berpotensi membangkitkan emosi bagi sebagian pihak yang sebelumnya terdampak.

Perlu menjadi kewaspadaan bersama bahwa ajakan berkedok peringatan hanya menjadi media untuk memobilisasi massa yang kemudian disusupi dengan agenda-agenda tertentu utamanya berkaitan dengan situasi kelompok separatis seperti KNPB dan OPM yang merasa gerah akibat adanya kebijakan pemekaran yang berpotensi membuat ruang geraknya terbatas. Di sisi lain, keberadaan kelompok PRP yang juga berdiri sejalan untuk menolak kebijakan pemekaran seperti halnya para kelompok separatis juga memiliki agenda tersendiri untuk menyusupkan isu tuntutannya dalam momentum peringatan kejadian tahun 2019 lalu.

Perlunya Pemahaman Komprehensif dalam Persoalan Rasisme di Papua

Penyebutan istilah rasisme bertalian dengan kolonialisme dan kapitalisme. Kolonialisme pada awalnya didorong oleh superioritas. Sejumlah pihak menganggap bahwa kolonialisme adalak kultur. Dalam konteks rasisme yang terjadi melibatkan masyarakat Papua, penting untuk dipahami bagaimana kondisi rasisme Papua secara historis dan struktural. Dapat dipetakan bahwa sumber konflik di Papua terdiri atas masalah historis dan identitas politik, pembangunan yang dianggap gagal, marjinalisasi dan diskriminasi, serta kekerasan di masa lalu.

Terdapat stereotip yang sering melekat pada orang Papua seperti pemalas, pemabuk, dan lainnya. Label tersebut yang kemudian menjadi bahan bakar persekusi seperti yang terjadi di Surabaya pada 2019 lalu. Lantas, ketika mereka menyuarakan hak politiknya sering dianggap sebagai ancaman. Hal tersebut terdorong dari adanya pendekatan dengan perspektif pertahanan dan keamanan.

Jika kita jeli terhadap kondisi di wilayah Papua, maka salah satu upaya penyelesaian permasalahan bisa dilakukan dengan menekankan pada pentingnya egalitarianisme bagi Papua. Generasi baru harus bisa mengimajinasikan Papua yang lebih egaliter. Kita bisa belajar dari negara lain agar suatu kelompok yang pernah mengalami diskriminasi rasial dan struktural bisa setara di masa mendatang.

Salah satu upaya tersebut muncul ketika pemerintah mencanangkan kebijakan pemekaran provinsi. Hal ini sekaligus menjawab opini negatif dari juru bicara internasional KNPB, Vicktor Yeimo yang beranggapan bahwa kebijakan Otsus dan pemekaran hanya akan menjadikan masyarakat termarginalkan. Padahal sudah jelas berulang kali disebutkan bahwa kebijakan tersebut membuka peluang masyarakat di Papua untuk memimpin wilayahnya sendiri sesuai dengan kearifan lokal. Setiap opini yang disampaikan KNPB tak lebih dari kekhawatiran akan nasib kelompoknya disaat pemerintah berusaha untuk mempercepat kemajuan dan kesejahteraan masyarakat Papua.

Dukungan Sejumlah Pihak Terhadap Kebijakan DOB Papua

Hingga kini kebijakan pemekaran terus diproses pemerintah pusat dengan melibatkan pertimbangan dari sejumlah pihak termasuk masyarakat Papua. Satu hal yang harus diketahui bahwa pemekaran wilayah di Papua merupakan amanat dan implementasi atas Pasal 76 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 merupakan lex specialis. Pada saat provinsi lain dilakukan moratorium pemekaran, Provinsi Papua mendapatkan perlakuan khusus dengan pemekaran tiga DOB. Pemekaran tiga DOB Papua sangat memberikan afirmasi khusus kepada orang asli Papua (OAP) dengan memasukkan aturan khusus di bidang aparatur negara, antara lain formasi pengisian ASN sekitar 80 persen OAP.

Koordinator Pergerakan Advokat Nusantara (Perekat Nusantara), Petrus Selestinus, secara tegas juga menyatakan dukungan penuh dalam pembentukan tiga provinsi baru di Papua melalui Daerah Otonomi Baru (DOB). Menurutnya, pemekaran sangat diperlukan dikarenakan geografis wilayah Papua sangat luas, guna mempermudah pemerintah dalam pelayanan publik. Dengan dimekarkan menjadi beberapa provinsi dan kabupaten/kota, maka hal tersebut akan mempercepat pembangunan, terbuka lapangan kerja baru yang dapat diisi oleh putra/putri Papua. Karena pemekaran atau DOB suatu daerah merupakan model pendekatan untuk mempercepat akselerasi pembangunan di daerah, sekaligus sebagai suatu entitas dalam kesatuan geografis, politik, ekonomi, sosial dan budaya.

__

Agus Kosek

(Pemerhati Masalah Papua)