Dalam perjalanannya, meski telah disahkan oleh DPR dan Presiden faktanya isu kebijakan pemekaran Daerah Otonomi Baru (DOB) di Papua masih menjadi poin sorotan hingga tuntutan oleh pihak-pihak oposisi untuk berupaya menolak melalui berbagai modus atau kegiatan. Mirisnya, isu kebijakan DOB juga ditunggangi oleh kelompok separatis dan teroris dalam upaya mengangkat kembali tuntutan referendum. Sejumlah aksi massa hingga gangguan keamanan yang terjadi di wilayah Papua dan sekitarnya dalam beberapa bulan terakhir selalu termuat tuntutan referendum pada salah satu poin tuntutannya. 

Perlu menjadi perhatian bersama, bahwa upaya para penolak kebijakan pemekaran DOB yang semula hanya terdiri dari segelintir pihak berbasis separatis maupun organisasi oposan, kemudian meluas kepada sebagian masyarakat akibat propaganda negatif yang dilakukan. Para pihak penolak tersebut berupaya mendekati tokoh masyarakat, tokoh adat, hingga tokoh agama untuk turut berdiri di pihak penolak kebijakan pemekaran. Salah satunya, ialah ketika anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) yang kemudian terpecah menjadi beberapa kubu dalam menyikapi kebijakan pemekaran DOB. Sebuah isu susulan muncul bahwa kebijakan pemekaran tak mendengarkan aspirasi masyarakat Papua dan hanya untuk kepentingan pemerintah pusat. Isu tersebut sempat santer menjadi amunisi bagi pihak oposisi untuk melancarkan pengaruhnya kepada masyarakat hingga bahan safari kunjungan ke beberapa tokoh pemerintah yang dianggap berpengaruh di Jakarta agar turut menyatakan penolakan. Kebijakan pemekaran bahkan juga digiring kepada provokasi ketidakterlibatan masyarakat adat.

Munculnya tuduhan bahwa kebijakan DOB tidak mendengarkan aspirasi masyarakat Papua sebenarnya bertentangan dengan keinginan tokoh-tokoh masyarakat Papua yang sejak lama menginginkan agar wilayahnya dimekarkan. Perihal masyarakat adat tentu telah menjadi perhatian pemerintah sebelum akhirnya mengesahkan UU pemekaran DOB. Salah satunya melalui pembuatan aturan, baik peraturan daerah maupun peraturan daerah khusus tentang proteksi hutan adat, masyarakat dan sumber penghidupannya. Pemerintah juga tengah mengupayakan adanya program pemberdayaan masyarakat yang berbasis kepada budaya masyarakat adat setempat dan mengevaluasi setiap program secara berkala.

Satu hal yang harus diketahui bahwa pemekaran wilayah di Papua merupakan amanat dan implementasi atas Pasal 76 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 merupakan lex specialis. Pada saat provinsi lain dilakukan moratorium pemekaran, Provinsi Papua mendapatkan perlakuan khusus dengan pemekaran tiga DOB. Pemekaran tiga DOB Papua sangat memberikan afirmasi khusus kepada orang asli Papua (OAP) dengan memasukkan aturan khusus di bidang aparatur negara, antara lain formasi pengisian ASN sekitar 80% dari OAP.  Perlu menjadi perhatian bersama, terlebih bagi pihak-pihak yang sampai saat ini masih di posisi menolak atau kontra terhadap kebijakan DOB. Bahwa munculnya kebijakan tersebut merupakan upaya pemerintah mempercepat pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat Papua. Dengan DOB, pelayanan akan lebih efektif karena pemerintah makin dekat dengan rakyatnya, birokrasi pun lebih efektif dan efisien, kemudian pembangunan akan makin merata di seluruh Papua. Sejalan dengan hal tersebut, sejumlah pihak memberikan pernyataan dukungan terhadap realisasi kebijakan pemekaran DOB.

Koordinator Pergerakan Advokat Nusantara (Perekat Nusantara), Petrus Selestinus, secara tegas menyatakan dukungan penuh dalam pembentukan tiga provinsi baru di Papua. Menurutnya, pemekaran sangat diperlukan dikarenakan geografis wilayah Papua sangat luas, guna mempermudah pemerintah dalam pelayanan publik. Dengan dimekarkan menjadi beberapa provinsi dan kabupaten/kota, maka hal tersebut akan mempercepat pembangunan, terbuka lapangan kerja baru yang dapat diisi oleh putra/putri Papua. Karena pemekaran atau DOB suatu daerah merupakan model pendekatan untuk mempercepat akselerasi pembangunan di daerah, sekaligus sebagai suatu entitas dalam kesatuan geografis, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Sementara itu, Forum Dewan Adat Tabi mendukung penuh kebijakan pemekaran DOB di Papua. Bupati Jayapura Mathius Awoitauw yang juga Ketua Asosiasi Forum Bersama Kepala Daerah se-Tanah Tabi mengatakan bahwa langkah pertama yang harus dipahami oleh semua pihak adalah pelaksanaan Otonomi Khusus (Otsus) yang telah disahkan oleh pemerintah pusat. Apabila terdapat masyarakat adat di Papua yang menolak Otsus, maka dipastikan tidak tahu adat istiadat. Kebijakan pemekaran oleh pemerintah pusat dan DPR RI harus didukung penuh oleh seluruh masyarakat adat. Sebab, hanya dengan cara itu setiap daerah dapat menjalankan seluruh roda pemerintahannya dengan caranya sendiri, dengan kultur dan budayanya sendiri. Bahkan, dapat menjangkau semua tempat yang terisolir. Menjadi hal terpenting adalah agar kePapuaan kita jangan sampai hilang atau terkikis karena adanya DOB.

Senada dengan hal tersebut, Ketua Dewan Adat Suku (DAS) Kabupaten Sarmi, Lukas Worone mengatakan bahwa kebijakan DOB atau pemekaran wilayah merupakan hal penting, agar semua daerah dapat menentukan pilihan hidup dan pemerintahannya dapat memperhatikan masyarakat lokal dengan baik. Sudah lama hal tersebut dinantikan, sehingga mari kita dukung kebijakan pemerintah pusat untuk realisasi pemekaran DOB di tiga provinsi baru Papua. Pemberian kesempatan kepada masyarakat Papua juga dikuatkan oleh pernyataan anggota Majelis Rakyat Papua (MRP), Toni Wanggai.  Bahwa kebijakan DOB memberi ruang kepada orang asli Papua (OAP) untuk menempati posisi di birokrasi termasuk menduduki jabatan struktural di Pemda setempat. Penyerapan orang asli Papua ke dalam struktural pemerintah daerah merupakan salah satu landasan pembangunan berbasis wilayah adat untuk mempercepat pembangunan wilayah pemekaran. Masyarakat bisa turut menjaga kelestarian budaya dengan membuat program kebijakan pembangunan berbasis wilayah adat sesuai potensi budaya dan alam yang dimiliki masing-masing wilayah. Pembangunan berbasis wilayah adat memberikan ruang keadilan yang lebih tepat sasaran.

Pengamat Politik dan Akademisi dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Robi Sugara, menyatakan bahwa pemekaran tiga provinsi di Tanah Papua bukti Presiden Joko Widodo ingin mengutamakan kesejahteraan masyarakat Papua. Pemekaran tersebut juga untuk mempercepat pembangunan dan proses layanan yang harus dirasakan oleh masyarakat Papua. Selain itu, yang perlu diutamakan adalah menyiapkan sumber daya manusia. Dengan adanya DOB, dibutuhkan tenaga ahli yang cukup. Hal itu tentu saja belum bisa dipenuhi dengan maksimal oleh warga asli Papua sehingga perlu dukungan dari warga Indonesia lainnya. Sementara itu, Ketua Umum DPN Pemuda Adat Papua, Jan Christian Arebo, secara tegas menyatakan bahwa pemekaran provinsi Papua selaras dengan kebijakan percepatan pembangunan di Bumi Cenderawasih. Pemekaran diperlukan mengingat luasnya kondisi geografis Papua jika dibandingkan Jawa, sehingga membutuhkan rentang kendali yang harus diperlebar agar layanan publik bisa dimaksimalkan. Selain itu, tiga provinsi baru juga akan menyerap sumber daya manusia khususnya dari warga asli Papua. Hal itu tentu saja membawa dampak positif bagi generasi muda yang memiliki kemampuan di berbagai bidang.

Maka segala unggahan negatif dan tuduhan yang disampaikan pihak-pihak oposisi terkait kebijakan pemekaran DOB dan tak didengarnya aspirasi masyarakat Papua bisa dipastikan sebuah fitnah karena bertentangan dengan kondisi sebenarnya di masyarakat