Aksi Unjuk Rasa Penolakan KTT G20 di Universitas Cenderawasih

zona-damai.com – Dalam beberapa hari terakhir, aksi penolakan terhadap event KTT G20 yang baru saja ditutup oleh Presiden Joko Widodo muncul dari massa yang menamakan diri Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komite Bali serta massa dari aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) se-Jayapura. Dalam aksinya, mereka menentang adanya penyelenggaraan KTT G20 dan meminta hak untuk menentukan nasib sendiri. Hal tersebut disebutnya sebagai solusi demokratis bagi bangsa Papua Barat. Sebuah hal yang tak memiliki korelasi.  

Dilihat dari pernyataannya yang menyebut wilayah Papua sebagai bangsa Papua Barat, jelas bahwa kelompok tersebut memiiki tendensi miring terhadap negara Indonesia. Penyebutan Papua Barat untuk provinsi Papua tak lain dan tak bukan hanya dilakukan oleh kelompok separatis dan teroris yang berusaha merasuk di wilayah akademi. Terlebih poin tuntutan yang disampaikan adalah permintaan penentuan nasib sendiri. Hal tersebut semakin meyakinkan bahwa terdapat penunggangan kepentingan pada aksi yang dilakukan oleh massa yang berbalut perjuanga mahasiswa tersebut.

Kepentingan Eksistensi Kelompok Separatis Papua Manfaatkan Momentum KTT G20

Jika dirunut pada track record selama beberapa waktu ke belakang, bukan menjadi sebuah prinsip dari kelompok massa yang mengatasnamakan organisasi mahasiswa tersebut menolak acara negara berskala internasional yang justru banyak mendatangkan keuntungan bagi Indonesia. Sebagus apapun acara yang memiliki dampak dan sorotan besar terhadap publik, pasti akan dimanfaatkan oleh kelompok separatis untuk menunjukkan eksistensinya. Pun dengan yang terjadi pada perhelatan presidensi KTT G20. Poin tuntutan kemerdekaan atau lepas dari NKRI menjadi hal yang selalu termuat dalam setiap aksi. Terlebih, aksi kali ini dengan menunggangi organisasi mahasiswa dimaksudkan agar terlihat kritis bagian dari perjuangan mahasiswa. Padahal kita tahu semua, dibalik gerakan tersebut termuat misi panjang OPM, KNPB, maupun ULMWP yang bersikeras mewujudkan misinya melepaskan diri dari Indonesia. Bagai serigala berbulu musang, mereka mencoba meyakinkan publik dengan menunggangi para mahasiswa.

Presidensi KTT G20 dan Kaitannya dengan Masalah di Papua

Wilayah Papua, meski tak secara khusus menjadi tempat penyelenggaraan KTT G20, namun berpotensi menjadi sorotan publik. Isu separatisme yang hingga kini masih seperti api dalam sekam hingga kasus korupsi yang menyeret sejumlah nama pejabat termasuk Gubernur Papua bisa menjadi atensi, bahkan mungkin hingga level dunia yang rawan untuk terjadinya provokasi.

Hampir dalam setiap kesempatan, Presiden Joko Widodo selalu menegaskan bahwa paradigma pembangunan nasional saat ini bukan Jawa atau Sumatrasentris, namun harus beriorentasi Indonesiasentris. Sejak awal pemerintahannya, Kepala Negara telah berkomitmen membangun Indonesiasentris yang dimulai dari tanah Papua. Komitmen tersebut bukan sekedar retorika, namun dihadirkan lewat Instruksi Presiden (Inpres) percepatan pembangunan kesejahteraan Papua dan Papua Barat yang tertuang dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional. Bahkan Papua menjadi program prioritas nasional. Komitmen tersebut tak hanya sekedar infrastruktur, namun juga memastikan penguatan sumber daya manusia (SDM). Termasuk dalam hal ini adalah masyarakat adat.

Lebih spesifik lagi, berkaitan dengan lanskip masyarakat adat Papua. Pemerintah saat ini menaruh perhatian yang luas terhadap masyarakat adat yang semakin berkembang. Menjadi salah satu hal penting dari kehadiran masyarakat adat nusantara, khususnya di masa pandemi covid-19 dan krisis iklim ketahanan. Yakni kepemilikan pengetahuan lokal dan ketahanan pangan tersendiri, dalam kearifan budaya lokal. Adanya pelaksanaan Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) VI di Jayapura menunjukkan bahwa masyarakat adat di seluruh nusantara masih eksis dan hidup serta mempertegas kedaulatannya. Kedaulatan masyarakat adat menjadi sangat penting dalam situasi negara Indonesia yang hampir lupa bahwa sebenarnya fondasi keberagaman ada pada masyarakat adat. KMAN VI juga turut membahas terkait krisis iklim, krisis pangan dan krisis energi yang berpotensi menimbulkan konflik baru bukan saja di Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Sehingga disamping memperkuat keberagaman bangsa masyarakat adat, juga akan menjadi dasar menghadapi krisis.

Hal tersebut menjadi kontraproduktif dengan seruan mereka menolak gelaran event KTT G20. Pasalnya, selain memberikan keuntungan bagi pemulihan ekonomi nasional, gelaran tersebut juga memiliki peran penting dalam menjembatani keberagaman. Indonesia yang memiliki falsafah musyawarah dan mufakat diharapkan bisa menjembatani berbagai kelompok negara. Adanya penolakan tersebut tentu memiliki motif yang mendasari. Bisa dipastikan bahwa aktor yang berada dibalik aksi penolakan datang dari kelompok separatis yang hanya menginginkan tujuan akhir referendum untuk memisahkan diri dari Indonesia.

Mempertanyakan Penolakan KTT G20 yang Jelas Memiliki Pengaruh Besar bagi Indonesia

Meski jawaban pada sub judul ini bisa dijelaskan melalui narasi persuasif oleh AMP atau BEM se-Jayapura dengan tendensi menyudutkan pemerintah. Namun yang perlu digarisbawahi, bahwa pada intinya tujuan dan solusi sepihak dari para pengusung pendapat tersebut adalah menginginkan referendum. Kritikan terhadap negara maupun pemerintah hanyalah bunga-bunga untuk menjembatani misi panjang tersebut.

Seperti yang kita tahu bahwa presidensi KTT G20 memiliki pengaruh besar bagi Indonesia menjadi ajang pembuktian bahwa di tengah situasi pandemi bisa mengoptimalkan dalam segala bidang. Momentum presidensi yang hanya terjadi satu kali setiap generasi harus dapat dimanfaatkan sebaik mungkin untuk memberi nilai tambah bagi pemulihan Indonesia, baik dari sisi aktivitas ekonomi, maupun kepercayaan masyarakat domestik dan internasional.

Menjadi bukti nyata terkait keberhasilan lobby pemerintah RI dalam momentum G20 ditandai dengan adanya peluncuran dana pandemi atau pandemic fund yang telah diresmikan Presiden Joko Widodo. Pandemic fund menjadi instrumen penting untuk mempersiapkan dan merespons pandemi berikutnya dengan lebih baik. Diluncurkannya dana pandemi tersebut memberikan titik awal bagi kita semua untuk menunjukkan kepada dunia bahwa G20 mampu menghasilkan tindakan nyata yang dapat memiliki dampak global. Membanjirnya dukungan tersebut, juga terlihat dari sikap dari Lembaga dunia Pandemic fund juga merupakan momentum besar bagi Indonesia untuk memperoleh kredibilitas atau kepercayaan masyarakat internasional dalam memimpin pemulihan global. Disisi lain, Presidensi G20 menciptakan efek ganda bagi Indonesia, antara lain dengan menunjukkan bahwa ‘Indonesia is open for business’ sehingga dapat membawa dampak pada peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia.

Pengakuan atas peranan Indonesia di dunia antara lain berkat kemampuan Pemerintah Indonesia yaitu Presiden Joko Widodo untuk menjadi penghubung (bridge builder) yang dilandasi pada ketulusan dan netralitas, dalam semangat mewujudkan cita-cita sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945. Politik luar negeri bebas aktif senantiasa menjadi modal awal yang memandu langkah Indonesia dalam hubungan antar bangsa.

Selain itu, pertemuan KTT G20 juga menjadi momentum bagi Indonesia untuk menampilkan keberhasilan reformasi struktural berupa dikeluarkannya Undang-Undang Cipta Kerja dan Lembaga Pengelola Investasi (Sovereign Wealth Fund/SWF) serta mendorong optimalisasi financial inclusion untuk bersama-sama melakukan pengembangan Kredit Usaha Rakyat (KUR) untuk UMKM meningkatkan inklusi keuangan dan perempuan mencapai presentase 90 persen ditahun 2024.

Maka menjadi hal yang patut dipertanyakan bagi massa yang menyatakan diri kelompok mahasiswa bersikap menolak kegiatan tersebut dan menawarkan solusi melalui hak penentuan nasib sendiri. Sebuah cara klise untuk meraih eksistensi dan perhatian publik oleh kelompok separatis yang meunggangi mahasiswa dengan mencoba memanfaatkan gaung event internasional KTT G20. Kita semua harus waspada.

__

Agus Kosek

(Pemerhati Masalah Papua)