Menyaksikan perdebatan akademik selalu menyenangkan, apalagi jika melibatkan Paul Krugman dan Larry Summers. Paul Krugman bukanlah orang sembarangan, dia adalah profesor di Princeton yang meraih nobel bidang ekonomi di tahun 2008. Sementara lawannya, Larry Summers, juga tak kalah hebat, seorang profesor di Harvard yang pernah malang melintang membantu Presiden Bill Clinton di akhir tahun 1990an. Pawang adu debatnya pun tak kalah mentereng, Markus Brunnermeier, profesor dari Princeton. Singkatnya, ini adalah perdebatan kelas langitan.

    Apa yang mereka perdebatkan dalam dua kali kesempatan di tahun 2021 dan tahun 2022 adalah hal yang sangat relevan dengan keseimbangan global yang sekarang tengah limbung. Hal ini menyangkut pemberian stimulus oleh Pemerintah Amerika Serikat (AS), sebagai upaya pemulihan untuk lepas dari pagebluk Covid-19. Mereka sepakat mengenai intervensi Pemerintah AS untuk melumasi kinerja perekonomian melalui stimulus. Adapun yang menjadi objek perdebatan adalah mengenai besarnya stimulus. Summers menilai besaran stimulus yang digelontorkan oleh Pemerintah AS terlalu besar dan akan memicu inflasi yang membebani perekonomian.

    Sementara Krugman melihat tidak ada stimulus yang terlalu besar mengingat selama pandemi perekonomian anjlok, sehingga perlu didongkrak stimulus yang melimpah. Argumen Krugman lebih untuk mencegah sebuah fenomena yang disebut histerisis ekonomi. Histerisis diambil dari bahasa Yunani, hystereo, adalah sebuah fenomena ekonomi ketika timbul gejolak atau tekanan yang jika tidak diintervensi akan menyebabkan perekonomian tenggelam tanpa pernah kembali ke permukaan. Jika Ben Bernanke, yang baru saja menggondol nobel ekonomi di tahun ini, hadir dalam perdebatan langitan tersebut, hampir pasti dia akan mendukung argumen Krugman. Betapa tidak, sebagai penganut mazhab Keynesian garis keras, Bernanke adalah aktor di balik stimulus multimiliar dolar pascakrisis keuangan global di tahun 2008. Tidak ada yang terlalu besar, karena yang paling penting adalah perekonomian bisa melejit dengan cepat.

    Tetapi ketika perdebatan itu diulang kembali di tahun 2022, Krugman tampak mengakui kesalahannya. Bahwa memang ada dampak ekonomi yang signifikan di masa awal pemberian stimulus, tetapi itu hanya dipicu oleh efek yang sangat sementara. Hal itu dimungkinkan akibat terjadinya pertumbuhan yang tidak proporsional antara demand dan supplyDemand terkerek oleh stimulus, sementara supply lambat menyesuaikan karena karakteristik adaptasi untuk segera melaju tidak secepat daya adaptasi dari sisi demand.

    Butuh waktu untuk menjalankan industri, merekrut kembali pekerja, menjalankan logistik yang mandek, dan seterusnya.
Hal ini kemudian diperparah dengan iklim geopolitik yang tidak menentu, dan membuat proyeksi inflasi AS yang semula hanya bersifat sementara (transitory), berubah menjadi tampak persisten (sticky on higher level). Imbasnya, the Fed terpaksa melakukan langkah ekstrem dengan berulang kali menaikkan rate-nya demi menekan demand yang telanjur melejit, kembali dipaku supaya tidak terlalu jauh dengan supply yang mandek. Celakanya, sebagai patron global, langkah the Fed tersebut menciptakan efek bandwagon ke segenap penjuru dunia, ramai bank sentral di negara-negara lain juga menaikkan suku bunganya, tak terkecuali Indonesia.

Langkah Berjaga-jaga

    Di Indonesia sendiri, Bank Indonesia (BI) sudah menaikkan suku bunga acuan (BI7DRR) dua bulan berturut-turut pada Agustus dan September sebesar 25 bps dan 50 bps. Hal ini sebagai langkah berjaga-jaga (front loaded, pre-emptive, dan forward looking) untuk mengantisipasi beberapa kemungkinan buruk bagi perekonomian Indonesia. Yang pertama adalah dari
sisi nilai tukar, BI memang sempat ajek terhadap beberapa seri awal kenaikan Fed Funds Rate dengan terus memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar Rupiah. Hal ini pada gilirannya membuat BI mampu berselancar antara memanfaatkan momentum pemulihan ekonomi pasca titik puncak pandemi sembari menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah.

    Keleluasaan tersebut dimungkinkan mengingat posisi cadangan devisa kita yang memang sangat memadai, sebagai berkah dari limpahan surplus perdagangan yang terus mencetak rekor. Dalam perdebatan langitan yang saya singgung di atas, Larry Summers sempat ditanya oleh Markus Brunnermeier mengenai dampak dari kebijakan agresif the Fed terhadap tekanan global, terutama pada negara-negara berkembang. Pertanyaan Brunnermeier ini tentu dilandasi kekhawatiran akan terulangnya kejadian taper tantrum 2013 yang juga merupakan konsekuensi dari pengetatan moneter usai limpahan stimulus. Tapi Summers melihat bahwa mayoritas negara-negara berkembang saat ini dilimpahi oleh surplus perdagangan yang justru muncul selama pandemi. Perlu dipahami, di negara-negara berkembang, demand tidak melaju secepat negara-negara maju. Ditambah lagi, harga komoditas global sedang terkerek naik akibat stimulus dari negara-negara besar, termasuk AS. Imbasnya, surplus perdagangan komoditas meningkat dan menjadi pengungkit pertumbuhan ekonomi.

    Akan tetapi, senyaman-nyamannya bersandar pada cadangan devisa, tentu ada batasnya. Disparitas yang semakin memudar antara Fed Funds Rate dan BI7DRR semakin menekan Rupiah, sehingga perlu langkah taktis untuk meredamnya. Kebijakan menaikkan BI7DRR merupakan langkah tepat tidak hanya untuk menurunkan ekspektasi inflasi dan inflasi inti, namun juga memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar Rupiah agar sejalan dengan nilai fundamental. Sebagaimana diketahui, pada saat bersamaan, Pemerintah di bulan September harus melakukan penyesuaian harga BBM demi menyelaraskan target konsolidasi fiskal dan juga pengalihan prioritas subsidi energi kepada kelompok yang benar-benar membutuhkan. Sebagai bagian dari bauran kebijakan yang baik, maka tugas BI adalah meredam gejala ekspektasi inflasi agar tidak bertambah liar. Kenaikan BI7DRR memang berpotensi meningkatkan cost of financing, sehingga memperlambat tren ekspansi industri. Namun simulasi kami menunjukkan bahwa upaya BI tersebut justru membuat prospek pertumbuhan ekonomi di tahun ini menjadi lebih baik. Mengapa?

    Hasil dari perhitungan dekomposisi varian menunjukkan bahwa beban perekonomian paling berat selama tiga tahun terakhir adalah pandemi dan juga inflasi. Ketika pandemi sudah mulai melandai, inflasi menjadi momok yang dominan. Inflasi yang tak terkendali akan berdampak buruk bagi pertumbuhan ekonomi.

    Karenanya, ibarat tubuh, ketika demam mesti diberi obat penurun panas. Obat memang punya efek merusak, tetapi jika diberikan dengan dosis tepat, demam bisa turun dan tubuh bisa kembali beraktivitas. Begitu juga perekonomian, tekanan inflasi mesti ditangani terlebih dahulu, baru kemudian perekonomian bisa kembali bergerak. Dengan respons kebijakan BI melalui kenaikan BI7DRR tersebut, hasil simulasi kami menunjukkan perekonomian akan tumbuh setidaknya 5,1% di tahun ini. Jika inflasi dibiarkan terlalu tinggi tanpa respons kebijakan BI, maka probabilitas ekonomi tumbuh di atas 5% akan memudar, dengan faktor kontraksi antara 0,5-0,7%.

    Lantas bagaimana prospek perekonomian tahun depan? Sebuah seloroh menyatakan, salah satu indikator awal resesi adalah ketika para ekonom semakin sering diminta berbicara di berbagai forum. Ketika hal itu terjadi, kita memang harus waspada. Tapi, saya cukup optimistis, karena bauran kebijakan antara otoritas fiskal dan moneter tampak semakin terpadu. Pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun depan pun diyakini masih dalam kisaran 5%.