Tokoh TPNPB OPM Jeffrey P Bomanak

zona-damai.com – Sebuah pertemuan yang baru saja digelar oleh Kapolda Papua, Irjen Mathius D. Fakhiri dengan unsur pimpinan gereja serta uskup Jayapura pada Rabu 10 mei 2023 lalu membahas perihal penyanderaan pilot Susi Air menimbulkan respon negatif, khususnya dari pihak oposisi. Seperti sedang kebakaran jenggot, tokoh TPNPB OPM, Jeffrey P. Bomanak secara sigap langsung merespon adanya pertemuan tersebut melalui unggahan di laman Facebook atas nama dirinya serta broadcast pada layanan pesan Whatsapp. Ia secara lugas meminta agar bersikap waspada terhadap pertemuan tersebut sebagai politik status quo pemerintah Indonesia untuk mencari legitimasi militer terhadap warga sipil Papua atas nama pembebasan penyanderaan. Dirinya lantas meyakini bahwa Dewan Gereja Papua (DGP) tidak mungkin salah langkah berbicara soal penyanderaan pilot Susi Air, serta meminta pihak DGP berkonsultasi kepada pimpinan TPNPB OPM agar pemerintah Indonesia tidak mengambil legitimasi pertemuan tersebut sebagai alasan untuk melakukan operasi militer terhadap warga sipil Papua di sejumlah wilayah rawan. Di akhir pernyataannya, ia meyakini bahwa pembebasan sandera melibatkan DGP tidak akan terjadi, pasalnya TPNPB OPM disebut telah berjuang lebih dari 60 tahun sebelum terbentuk DGP. Menurutnya, semua usaha yang dilakukan DGP dan Kapolda Papua adalah sia-sia.

Tak hanya itu, Jeffrey P. Bomanak juga menuliskan tanggapannya melalui Podcast of OPM edisi 13 Mei 2023. Pernyataan yang terdiri dari 4 poin tersebut masih menyinggung perihal pertemuan Kapolda Papua dan DGP terkait upaya pembebasan Pilot Susi Air. Pertama, pihak TPNPB OPM telah menyampaikan dasar penyanderaan dan solusi untuk menjawab tuntutan pelepasan Pilot Susi Air. Kedua, Terdapat tiga tuntutan yang disampaikan DGP namun disebut telah dipolitisir oleh media Polda Papua, hal ini kemudian disebut hendak menciptakan status quo dari setiap tuntutan rakyat Papua melalui DGP. Ketiga, TPNPB OPM meminta kepada seluruh organ perjuangan bangsa Papua secara demokratis harus menyetujui solusi bahwa harus ada negosiasi internasional. Keempat, bahwa konsekuensi buruk yang akan dilakukan Indonesia dari setiap pertemuan tertutup adalah Kapolda, Pangdam, atau petinggi Jakarta akan mencuri informasi dan mengambil legitimasi untuk melakukan operasi militer. Oleh sebab itu, TPNPB OPM meminta kepada sleuruh pihak untuk tidak melakukan pertemuan tertutup dengan pihak Indonesia soal penyanderaan tanpa mengkonfirmasikan kepada TPNPB OPM.

Dari penyataannya tersebut, tersirat bahwa pihak TPNPB tidak mengingingkan adanya langkah-langkah alternatif dalam upaya pembebasan pilot susi air tanpa diketahui oleh pihaknya. Dari gerak-gerik tersebut, diindikasi bahwa hal demikian bisa merupakan bentuk kekhawatiran TPNPB OPM yang kemudian dikemas dengan bentuk ancaman.

Respon TPNPB OPM Bertolak Belakang dengan Hasil Pertemuan Kapolda Papua dan DGP

Seperti halnya yang pernah terjadi pada kejadian sebelum-sebelumnya. Dalam hal bermedia, pihak TPNPB OPM seperti memiliki opini tersendiri yang terkadang berseberangan dengan fakta yang terjadi. Mereka seperti paham dalam merawat citra dan branding kelompok sehingga tidak terlihat jatuh di mata orang lain.

Berdasarkan hasil pertemuan antara Kapolda Papua dan DGP menyinggung upaya pembebasan pilot Susi Air. Terdapat kesepakatan bahwa pihak gereja melalui pernyataan Uskup Jayapura, Monsinyur Yanuarius Theofilus Matopai You menyatakan bersedia menjadi mediator dalam kasus penyanderaan pilot Susi Air. Namun mereka meminta jaminan keamanan agar bisa berkomunikasi dengan baik. Terdapat kemungkinan pihak gereja akan lebih diterima oleh kelompok separatis Papua untuk mencari jalan tengah persoalan tersebut. Pihak gereja disebut akan membentuk tim independent untuk berdialog dengan Egianus Kogoya, termasuk meminta pemerintah dan aparat keamanan setempat memberikan wewenang lebih untuk melaksanakan pendekatan dengan masyarakat.

Hal demikian juga disampaikan oleh mantan Ketua Sinode Gereja Kemah Injil (Kingmi) di tanah Papua, Pendeta Benny Giay yang menyatakan bahwa upaya pembebasan pilot Susi Air bisa dilakukan dengan menarik pasukan dan menghentikan operasi militer dari Kabupaten Nduga. Hal tersebut pernah dilakukan saat pengalaman tahun 2001 dalam membebaskan 2 sandera asal Belgia yang ditawan di Ilaga Kabupaten Puncak Jaya pada 1 Agustus 2001. Menurutnya, jika aparat militer terlalu banyak maka akan mengganggu masyarakat sipil. OPM juga akan semakin keras, gereja juga bahkan dianggap mendukung TNI-Polri.

Kondisi inilah yang kemudian membuat Jeffrey P. Bomanak merespon secara massif memanfaatkan kemudahan bermedia sosial. Melalui pernyataan juru bicara TPNPB OPM, Sebby Sambom juga menyatakan bahwa keinginan perwakilan gereja menjadi mediator adalah kekeliruan. Sedari awal pihak TPNPB OPM bersikukuh untuk bernegosiasi dengan pemerintah Indonesia dan Selandia Baru.

Tuduhan Politik Status Quo Merupakan Siasat TPNPB OPM Tutupi Kondisi Terdesak

Jika ditelaah menurut definisi, dikutip dari buku Politik Antarbangsa karya Hans J. Morgenthau dan ‎Kenneth W. Thompson (2010:60), Status Quo adalah menentang suatu perubahan dalam arti pembalikan hubungan. Kata Status Quo sendiri berasal dari idiom atau kalimat in statu quo res erant ante bellum yang artinya adalah keadaan sebagaimana ketika belum terjadi peperangan. Selain itu, kosakata ini dapat merujuk pada keadaan ketika beberapa pihak yang berunding mendapati kedudukan yang tidak menguntungkan untuk mengambil sebuah keputusan oleh sebab dampak yang akan ditimbulkan, sehingga menjadikan Status Quo sebagai penyelesaian alternatif. Politik Status Quo sendiri merupakan sebuah cara untuk melestarikan kekuasaan yang dimilikinya. Pandangan politik ini bertujuan menentang adanya imperialisme, membersihkan rasa ragu rakyat, dan mengharapkan dukungan dari negara lainnya.

Dalam konteks permasalahan di Papua, khususnya menyangkut insiden penyanderaan pilot Susi Air. Munculnya tuduhan politik status quo oleh Jeffrey P. Bomanak terhadap pemerintah Indonesia agaknya tidak tepat dan salah alamat. Terlalu jauh menghubungkan tujuan kemanusiaan pembebasan pilot dengan urusan separatis upaya pelepasan Papua dari Indonesia.

Sebagaimana kita tahu, mantan Presiden Soekarno mencetuskan Pancasila serta menjadi pendiri Bangsa Indonesia. Beliau juga berhasil membawa Papua ke dalam Indonesia melalui integrasi 1 Mei 1963. Namun, api revolusi tersebut tak berlaku abadi. Sebab, Amerika melalui perundingan RI-Belanda soal status Papua, berhasil melakukan penetrasi ekonomi dan politik barat. Kembalinya Imperialisme ke Indonesia melalui jalan Papua mampu mengubah tatanan Pancasila serta birokrasi yang pro pada kepentingan barat. Hal tersebut ditandai dengan berlakunya UU Penanaman Modal asing, lalu kontrak karya pertama freeport. Sejak itulah, kamus Indonesia di Papua bukan lagi Pancasila, bukan lagi musyawarah mufakat. Eksploitasi kian merajalela hingga sekarang. Kemanusiaan yang seharusnya dijunjung tinggi, kemudian terstigmatisasi ke dalam kelompok separatisme, Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB), Orang tak dikenal (OTK), dan sebagainya. Jadilah, sebagian orang Papua kemudian kecewa terhadap Indonesia, begitu juga sebaliknya, sebagian elit di Jakarta memandang Papua sebagai masalah separatisme yang terus diberangus dengan senjata. Mereka lupa bahwa nilai-nilai Pancasila di Papua sebagai kekuatan bersama dalam mewujudkan keadilan, kemanusiaan, menyelesaikan masalah tanpa harus terjebak dalam palang permusuhan yang ditanamkan oleh kapitalis barat sejak dahulu hingga sekarang.

Politik Status Quo yang dialamatkan kepada pemerintah Indonesia oleh Jeffrey P. Bomanak, justru kemudian diyakini tak berkaitan secara langsung dengan definisi dan makna serta ruang lingkup dari arti kata tersebut. Pandangan yang disampaikan merupakan respon emosional berkaitan dengan adanya pertemuan Kapolda Papua terhadap tokoh gereja dalam upaya membebaskan Pilot Susi Air. Mereka menganggap bahwa ketika pemerintah Indonesia tak melepaskan Papua kemudian disebut sebagai politik status quo. Sebuah logika yang tidak masuk dari pihak yang ketika disebut sebagai kelompok separatis kemudian meruncing emosinya. Padahal mereka sendiri yang berkelakuan demikian ingin keluar dari wilayah Indonesia dengan seribu alasan dan perlakuan yang meresahkan hingga merugikan publik, salah satunya insiden penyanderaan Pilot Susi Air. Padahal, pemerintah pusat telah menaruh perhatian besar melalui sejumlah kebijakan untuk menyejahterakan serta memajukan bumi cenderawasih.

Tuduhan Politik Status Quo juga bisa jadi merupakan upayanya untuk menutupi kondisi keterdesakannya ketika DGP menyatakan setuju turun tangan dalam rangka membebaskan sang pilot. Seperti yang kita tahu, bahwa posisi tokoh adat dan tokoh gereja memiliki porsi dan pengaruh besar dalam mempengaruhi masyarakat Papua, termasuk para anggota TPNPB OPM. Di sisi lain, semakin kesini mulai banyak spekulasi bermunculan bahkan mengarah pada konspirasi berkaitan dengan kejadian penyanderaan pilot Susi Air tersebut. Salah satunya menyatakan bahwa hal tersebut hanyalah skenario belaka. Sebagaimana kita tahu bahwa Selandia Baru termasuk negara yang mendukung Papua merdeka. Ada benang merah keterlibatan yang perlahan mungkin bisa diurai satu persatu.  

__

Agus Kosek

(Pemerhati Masalah Papua)