Membaca tulisan Bung Denny JA yang berjudul “Kemiskinan di Jawa Tengah Batu Sandungan Ganjar Pranowo Terpilih Menjadi Presiden?” membuat memori saya lekat ke sosok ahli statistik asal Amerika Serikat, Nate Silver. Tidak pernah sebelumnya seorang pakar politik membuat tebakan yang benar yang mencakup seluruh 50 negara bagian di Amerika Serikat. 

Pada tahun 2008, seorang pria ahli statistik dengan sukses memprediksi hasil di 49 dari 50 negara bagian untuk pemilihan presiden Amerika Serikat. Hal ini saja telah membuatnya cukup terkenal untuk masuk dalam daftar 100 Orang Paling Berpengaruh di Dunia versi Majalah Time pada tahun 2009. Ia melakukannya lagi pada tahun 2012 ketika ia dengan tepat memprediksi pemenang di seluruh 50 negara bagian. Dan teranyar, Nate berhasil menaksir secara tepat pertarungan Biden vs Trump pada tahun 2020 yang lalu. 

Jauh sebelum mendapatkan pengakuan sebagai pakar politik (statistik) terkenal, pria ini memperoleh pengakuan publik pertamanya ketika dia menciptakan sistem pemodelan kompleks untuk memprediksi performa dan perkembangan karier pemain Major League Baseball yang sangat sukses.

Salah satu yang membuat penerawangan (forecast) Nate unik adalah dari sisi interpretasi dan penggunaan variabel khusus untuk mempertebal keyakinan penerawangan. Dari sisi interpretasi Biden vs Trump misalnya, probabilita kemenangan Biden versus Trump adalah diangka 90 persen berbanding 10 persen. 

Menariknya, Nate membahasakan temuan ini berbeda dengan orang kebanyakan. Umumnya, para analis akan langsung menunjuk bahwa Biden memiliki probabilita kemenangan yang sangat besar dan dominan, atau yang biasa disebut sebagai landslide victory. Tetapi Nate memang bukan orang pada umumnya, dia lebih memilih melihatnya bahwa Trump memiliki kemungkinan 10 persen untuk menang, dan faktor X dalam pemilu bisa membalikkan semua keadaan. unik bukan? alih alih meracau penuh gimik bahwa Biden pasti menang, Nate menemukan celah sempit untuk Trump.

Hal berikutnya yang membuat model penerawangan Nate unik adalah melalui beberapa indikator ekonomi yang digunakan untuk mempertebal derajat akurasi. Variabel-variabel ini, meskipun masih diragukan di kalangan para akademisi, telah dianggap sangat penting sebagai bola kristal ajaib yang dapat meramalkan masa depan.

Kembali lagi ke tulisan Bung Denny JA, dalam tulisan tersebut diungkap sebuah pertanyaan besar: “Apakah kemiskinan di Jawa Tengah bisa menurunkan dukungan kepada Ganjar Pranowo sehingga gagal terpilih sebagai presiden Indonesia 2024-2029?”

Bung Denny mengungkap 3 syarat krusial sebagai kunci jawaban: 1. kredibilitas data, 2. kepahaman alit (bukan sekedar elit) atas data tersebut dan, 3. usaha memoderasi isu. 

Disini saya mungkin akan fokus ke kunci pertama dan kedua saja, mengingat kunci ke 3 agak dinamis dan tergantung aktor strategi politik yang tentu saja diluar kontrol saya. kesamaan dua variabel awal ini dengan model penerawangan ala Nate adalah penggunaan variabel ekonomi untuk menerawang asa keterpilihan.

Untuk kunci yang pertama mengenai kesahihan data, saya rasa tidak banyak yang menyangkal bahwa Jawa Tengah (Jateng) adalah salah satu Provinsi termiskin di Jawa, datanya beredar luas. tetapi untuk lebih adilnya, bisa kita lihat dalam konteks yang dinamis dan tidak hanya statis. artinya, kemiskinan bukan hanya dilihat dari satu tahun tertentu, melainkan juga secara intertemporal lintas waktu, didalam satu periode kepemimpinan. 

Dibanding ketika awal memimpin, Ganjar tampak mampu memoles angka kemiskinan dari 14,1% menjadi 10,9% pada tahun 2022 yang lalu (data CNBC research). Dari sisi angka pengangguran, Ganjar juga berhasil sedikit mengangkatnya ke posisi yang lebih baik yaitu dari 6 persen menjadi 5.6 persen. Akan tetapi, saya sepakat bahwa ini masih jauh dari cukup. bisa jadi ini akan menjadi faktor penghambat elektabilitas yang sekarang sedang berkejaran dengan waktu.

Bagaimana dengan kunci yang kedua, apakah ini isu elit atau alit? jangan-jangan hanya elit saja yang ramai sementara alit tidak banyak yang paham. Untuk ini, saya akan coba menggunakan basis data besar yang kami (Next Policy) kumpulkan secara nasional dalam kurun waktu 5 bulan (desember 2022 hingga April 2023), dengan hampir 13 juta data poin (12.892.920). Data ini berbasis kecerdasan artifisial dan fokus pada API Twitter yang berasarkan kategori umur paling banyak berasal dari kelompok usia 35-44 tahun (28,4%) yang kemudian diikuti kelompok usia 25-34 tahun (26,6%), kelompok 18-24 tahun (25,2%), kelompok 45 tahun (diatas 12%) dan kelompok 13-17 tahun (7,8%).

Jika kita ambil keyword kemiskinan, jumlah totalnya adalah sebanyak 150.131, sangat jauh dari keyword yang tertinggi, harga, yang muncul 3.091.985 kali. Tetapi, jika kita melihat trajektorinya, keyword kemiskinan meningkat antar waktu, sesuai dengan transmisi tidak langsung dari variabel harga. 

Data kami memang tidak secara spesifik melihat Jateng, tetapi setidaknya arah dan besaran data kami menunjukkan bahwa isu kemiskinan saat ini memang belum menjadi konsumsi akar rumput alias alit, tetapi akan sangat bisa menjalar menjadi perhatian khusus masyarakat jika faktor harga-harga yang merangsek naik tidak benar-benar diperhatikan pemerintah.

Jika melihat sentimen kepada Ganjar dalam periode tersebut, sentimen negatif masih berada dibawa sentiment positif dan netral, tetapi ada satu periode dimana sentimen negatif Ganjar melonjak, seiring dengan penolakannya terhadap kedatangan Timnas Sepakbola U20 Israel. Ini sedikit banyak menggambarkan bahwa belum ada korelasi yang cukup kuat antara permasalahan kemiskinan di Jateng dengan sentimen positif atau negatif terhadap Ganjar, Adalah isu non tradisional (piala dunia U20) yang justru memantik sentimen tersebut.

Kembali lagi ke kunci jawaban dari Bung Denny JA, meski memenuhi kunci yang pertama mengenai kesahihan data, akan tetapi poin no 2 tampaknya belum bisa dipenuhi, sehingga saya kira isu kemiskinan di Jateng belum sangat berarti untuk menjungkalkan asa keterpilihan Ganjar di ajang kontestasi Presiden nanti. 

Akan tetapi ada beberapa catatan penting. Yang pertama, isu sentimen kemiskinan ini bersifat dinamis, bisa saja meledak di saat-saat tertentu, meskipun saat ini belum banyak masuk ke alam alit. Yang kedua, meskipun Ganjar berhasil megurangi angka kemiskinan, tetapi ini masih dalam laju percepatan yang kurang memadai. 

Sangat bisa secara sirkumstansial Ganjar diuntungkan oleh disparitas (perbedaan) upah yang signifikan antara Jakarta dan Jateng, yang pada gilirannya memicu arus perpindahan Industri dari Jakarta dan sekitarnya ke Jateng. Hal ini tentu menurunkan angka pengangguran dan tentunya berimplikasi pada berkurangnya jumlah orang miskin. Sehingga, ini bisa dianggap sebagai jalur yang alami dan bukan benar-benar berasal dari dorongan kebijakan. Dengan demikian, Ganjar sepertinya memang memiliki kekurangan di bidang ekonomi yang mesti ditutupi dari sisi persepsi dan teknis dengan kandidat Wapres yang sesuai. 

Inilah faktor X yang disebut oleh Nate Silver, sebuah celah sempit yang mampu dilalui oleh kandidat berkategori underdog sekalipun, jika dia memiliki faktor X tersebut. Lalu siapakah faktor X itu? Basis data kami memunculkan tiga nama, yaitu Sandiaga Uno, Erick Thohir dan Sri Mulyani. Lantas, dari tiga nama tersebut siapa yang paling pas? Ada tiga hal yang perlu dilihat: elektabilitas, kapasitas dan isi tas. Hanya satu yang memenuhi tiga aspek itu sekaligus yaitu Sandiaga Uno.

*) Fithra Faisal Hastiadi, Ph.D, Direktur Eksekutif Next Policy