ZONA-DAMAI.COM – Presiden Joko Widodo menyatakan pihaknya tengah memulai tradisi penggunaan penyusunan perundangan dengan metode omnibus law untuk membenahi regulasi yang tumpang tindih.

Hal ini disampaikan Jokowi saat memberikan sambutan dalam acara Aksi Nasional Pencegahan Korupsi yang digelar KPK melalui siaran langsung di akun Youtube Sekretariat Presiden, Rabu (26/8).

“Sebuah tradisi sedang kita mulai yaitu dengan menerbitkan omnibus law; satu UU yang mensinkronisasikan puluhan UU secara serempak, sehingga antar-UU bisa selaras memberikan kepastian hukum,” ujar Jokowi.

Diketahui, Pemerintah dan DPR saat ini sedang membahas RUU Cipta Kerja (Ciptaker) yang memakai metode omnibus law. Namun, RUU ini mendapat penentangan dari masyarakat karena pembahasannya tak transparan, isinya merugikan buruh, berpotensi merusak lingkungan, dan mengistimewakan pengusaha.

Jokowi melanjutkan bahwa masih banyak regulasi nasional yang harus dibenahi karena tumpang tindih dan tidak memberikan kepastian hukum. Hal itu membuat para pejabat menjadi takut untuk berinovasi.

“Regulasi nasional harus terus kita benahi. Regulasi tumpang tindih, tidak jelas, dan tidak memberikan kepastian hukum, ini yang harus kita rombak dan sederhanakan,” katanya.

“Kita akan terus melakukan sinkronisasi regulasi ini secara berkelanjutan. Jika bapak ibu menemukan regulasi yang tidak sinkron, tidak sesuai dengan konteks saat ini, berikan masukan pada saya,” ucap Jokowi.

Sebelumnya, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Satya Arinanto menyatakan pembuatan regulasi dengan teknik sapu jagat ala omnibus law pada RUU Cipta Kerja bukan sesuatu yang baru di Indonesia.

Hal itu diketahui lewat sejarah perundang-undangan di era Hindia-Belanda sampai 1949 yang mencapai sekitar 7 ribu peraturan.

Sementara, daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang disusun BPHN sejak 1990 sampai 1992 terdapat kurang lebih 400 peraturan perundang-undangan Hindia Belanda.

“Pertanyaannya, dari 7 ribu jadi 400 itu melalui metode apa? Apakah satu peraturan kolonial diganti satu peraturan nasional? Ini yang saya maksud waktu itu juga dipergunakan sistem omnibus,” tuturnya.

“Walaupun dalam penelitian atau khazanah hukum kita istilah omnibus belum dipergunakan, tapi metodenya digunakan. Jadi ini bukan hal yang baru,” kata Satya.

Meski begitu, Koalisis Masyarakat Sipil menyoroti cara penyusunan RUU Ciptaker lewat omnibus law ini yang berpotensi melanggar prosedur perundangan dan HAM.

Misalnya, koalisi menyoroti tindakan pemerintah yang menutup akses publik terhadap draf RUU saat proses perumusan dan menduga hanya segelintir elite yang mendapat akses. Padahal, salah satu syarat perumusan perundangan ialah keterbukaan.

Selain minim keterbukaan, pembahasan juga dilakukan secara kilat. Hal ini dikhawatirkan akan menghilangkan kompleksitas masalah. Padahal, RUU Cipta Kerja disebut akan merombak 1.239 pasal di 79 undang-undang terpisah.

“Dengan pendekatan kejar tayang dan serba terburu-buru sebagaimana diperlihatkan DPR dan Presiden, bukan tidak mungkin RUU Cipta Kerja bila diundangkan menjadi sejarah sebagai UU yang efektivitasnya gagal,” ujar Asfinawati, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), salah satu elemen Masyarakat Sipil, dalam keterangan tertulis, Rabu (4/3).