Sebagaimana diketahui, sejumlah serangan teror yang belakangan terjadi seperti di Gereja Katedral, Makassar, Sulawesi Selatan dan Mabes Polri Jakarta dilakukan oleh kalangan generasi milenial. Serangan pertama terjadi di depan Gereja Katedral Makassar berupa aksi bom bunuh diri yang dilakukan pasangan suami istri berinisial L dan istrinya YSR pada Minggu (28/3). Keduanya disebut masih berusia sekitar 26 tahun. Tiga hari berselang, seorang perempuan berinsial ZA berusia 25 tahun yang terpapar ideologi ISIS menyerang Mabes Polri.

Deputi VII Badan Intelijen Negara (BIN) Wawan Hari Purwanto menyebut, kalangan anak muda atau milenial menjadi target utama rekrutmen oleh kelompok teror saat ini. “Memang milenial ini menjadi target utama dari mereka [kelompok teror],” kata Wawan dalam diskusi daring yang disiarkan di YouTube, Sabtu (3/4). Wawan membeberkan beberapa alasan kelompok milenial menjadi target utama. Pertama, kelompok milenial seringkali tidak banyak yang berpikir kritis. Hal itu membuat kelompok milenial kerap menelan mentah-mentah ajaran yang dibuat dan disasar oleh kelompok teror. Kedua, Wawan mengatakan, kalangan milenial masih memiliki keberanian yang lebih ketimbang kalangan lainnya. “Juga tidak banyak tanggungan. Masih lebih emosional dan lebih berpikir pragmatis, apalagi ada iming-iming masuk surga dan lain-lain,” kata Wawan.

Melihat hal itu, Wawan meminta kepada kalangan milenial untuk terus melakukan konfirmasi dan mengecek kembali ajaran-ajaran yang bernuansa radikal. Tak hanya itu, Wawan juga meminta para orang tua untuk terus mengontrol anak-anaknya, terutama yang masuk dalam usia milenial. Termasuk, memantau pelbagai buku bacaan yang sedang mereka baca. “Yang biasanya riang jadi pemurung, yang biasanya enggak pergi kemana-mana jadi tahu-tahu kalau pulang minta uang. Dia [anak-anak] hanya bicara dengan networking yang ada di media sosial karena dia di-drive di situ untuk melakukan apa pun,” ujarnya. Wawan juga mengimbau agar orang tua terus melakukan patroli 24 jam untuk memantau kegiatan anak-anaknya yang masih berusia milenial di dunia maya. Hal itu bertujuan agar kalangan milenial tak terjebak oleh paham-paham radikal yang selama ini marak di dunia maya.

Hal senada juga disampaikan oleh mantan narapidana terorisme, Haris Amir Falah yang membeberkan banyak anak muda terpapar radikalisme dan terorisme dari media sosial. Kecanggihan teknologi, kata dia, mempermudah para kelompok maupun jaringan terorisme dalam merekrut anggota. “Sekarang itu karena teknologi sudah canggih, orang itu bisa direkrut tanpa bertemu muka. Mereka bisa aktif berdialog dibina lewat media sosial,” kata Haris. Haris mengatakan, instrumen media sosial membuat para pelaku lebih mudah dibaiat tanpa harus bertemu langsung. Berbeda dengan zamannya yang kebanyakan perekrutan dilakukan dengan menyusupi diskusi-diskusi pengajian. “Sistem baiat sekarang, kan, tidak harus bertemu. Mereka bisa di kamar sendirian kemudian berbaiat, kemudian sudah terikat. Jadi bisa sekali didoktrin tanpa tatap muka,” kata Haris. (*)