Nur Khansa Ranawati pada Jumat (1/5/2020) tahun lalu menulis di media online www.ayopurwakarta.com, dengan judul “Mayday dan Sejarah Hari Buruh di Indonesia”.

Disebutkan, peringatan Hari Buruh Internasional (Mayday) setiap 1 Mei berawal dari perjuangan buruh di Amerika Serikat yang merancang aksi protes pada 1886. Lebih dari 200.000 buruh Amerika kala itu menuntut memperoleh jam kerja yang manusiawi, yakni 8 jam per-hari, yang sebelumnya bekerja selama 16 hingga 18 jam per hari.

Pada 1 Mei 1886, buruh di Chicago dan kota lainnya menggelar aksi mogok kerja disertai demonstrasi besar-besaran. Demonstrasi berlangsung selama 4 hari dari 1 Mei hingga 4 Mei 1886 menyebabkan bentrok yang menimbulkan korban jiwa baik buruh maupun polisi. Saat aksi tersebut sebuah bom meledak di barisan polisi hingga menimbulkan kericuhan. Dalam catatan sejarah dan media di Amerika peristiwa ini juga dikenal dengan sebutan “Haymarket Affair”.

Di penghujung aksi, sebanyak 8 orang ditangkap, diadili dan dihukum terkait dengan peristiwa bom tersebut. Pada 1889, Konferensi Sosialis Internasional menyatakan bahwa 1 Mei akan menjadi hari libur internasional bagi para tenaga kerja. Hal tersebut hingga saat ini dikenal di banyak negara sebagai Hari Buruh Internasional. Karena saat itu aksi terjadi pada bulan Mei maka hingga kini dikenal dengan istilah “Mayday”.

Dalam catatan sejarah di Indonesia, aksi demo juga sudah ada sejak tahun 1921. Salah satu momen awal penyuaraan tuntutan buruh di Indonesia salah satunya terjadi ketika itu HOS Tjokroaminoto berpidato mewakili serikat buruh di bawah Sarekat Islam.

Kemudian pada 1923, salah satu anggota Serikat Buruh Kereta Api dan Tram (V.T.S.P), Semaun, berpidato dalam rapat umum organisasi tersebut untuk melancarkan aksi mogok massal. Dia mengungkapkan berbagai macam masalah yang dialami buruh, yang dinilai perlu diperbaiki. Menjelang perlawanan PKI pada 1926, hari buruh dilarang untuk diperingati. Desas-desus tentang rencana perlawanan kaum komunis membuat pemerintah Hindia Belanda waspada.

Peringatan hari buruh kembali mendapat tempat di era Kabinet Sjahrir usai kemerdekaan. Bahkan, Menteri Sosial kala itu, Maria Ullfah meminta para pemilik usaha untuk tetap dapat membayar upah para buruh yang turun ke jalan merayakan peringatan 1 Mei.

Akhirnya sejak 1995, hari buruh mulai diperingati di berbagai kota di Indonesia secara rutin. Saat ini, tuntutan yang disuarakan tak lagi menyoal jam kerja, namun juga berbagai isu peningkatan kesejahteraan hingga bernuansa politis karena adanya anasir-anasir dari kelompok kepentingan.

Dea Ramadhani, Penulis aktif di komunitas Lingkar Pers dan Mahasiswa Cikini menulis di baliexpress.jawapos.com (10/10/2020) dengan judul “Waspada Provokasi KAMI Membenturkan Buruh vs Pemerintah”
Dalam tulisannya, penulis dengan jelas menyebutkan kelompok kepentingan bernama Koalisi Aksi Menyelematkan Indonesia (KAMI). Disebutkan, pernyataan KAMI yang mendukung demo buruh memperlihatkan langkah mereka untuk terus memprovokasi rakyat. Mumpung isu penolakan omnibus law sedang panas, mereka ikut aji mumpung dan menyatakan pro buruh. Padahal yang ada adalah adu domba antara buruh dengan pemerintah.

KAMI melalui presidiumnya, Gatot Nurmantyo, menyatakan dukungannya kepada para buruh untuk berdemo. Dalam pernyataan resminya, KAMI mendukung langkah konstitusional buruh untuk mogok massal tanggal 6-8 oktober 2020. Selain itu, mereka juga ikut mengecam omnibus law yang dianggap merugikan rakyat.

Kenyataannya, tak semua buruh mendukung mogok massal dan demo menentang omnibus law. Buruh jangan mau dimanfaatkan agar terus membenci pemerintah. Karena kenyataannya, justru rakyat kecil yang berdemo, dijadikan perpanjangan tangan.

Sebentar lagi menjelang peringatan Mayday, buruh perlu waspada jangan mudah terprovokasi oleh pihak manapun, termasuk kelompok kepentingan yang sedang memainkan agenda politiknya. Apalagi berdemo hanya untuk ikut-ikutan, sebagai bentuk solidaritas. Kalau sampai terjadi bentrokan dan kekerasan seperti yang terjadi di AS maka yang akan rugi buruh itu sendiri. (*)