Selama waktu ini, berita tentang Papua Barat yang diangkat oleh media asing hanya tentang “pelanggaran hak asasi manusia” yang dilakukan oleh militer Indonesia. Sementara itu, kelompok separatis terus dipuji sebagai kekuatan pendorong kemerdekaan dan sering digambarkan sebagai orang yang ditindas. Namun, apa sebenarnya “perjuangan” para separatis ini?

Jauh dari kesan yang didapat dari berita asing, kelompok separatis ini dikenal brutal di Indonesia. Banyak korban jatuh karena “perjuangan” buta mereka.

Menyerang Pesawat Komersial dan Pedagang non-Papua

Di Kenayam (6 Juni 2018), kelompok separatis menembaki pesawat Trigana Air yang membawa pasukan Brimob (Brimob). Kelompok itu tidak berhenti di situ; mereka juga membunuh tiga warga sipil yang berada di sekitar Bandara Kenayam, Kabupaten Nduga. Ketiga korban ini tidak hanya menerima luka tembak tetapi juga luka tusukan.

Suami dan istri, Hendrik Sattu Kola dan Margareta Polli, seorang pedagang di sekitar bandara meninggal di tempat sementara anak mereka, Arjuna Kola (6 tahun), ditikam. Pedagang lain, Zaenal Abidin, menerima luka tembak dan meninggal. Keluarga para korban mengutuk tindakan keji dari Kelompok Pidana Bersenjata dan meminta TNI (Tentara Nasional Indonesia) dan Kepolisian Republik Indonesia untuk mengambil tindakan hukum terhadap mereka.

Menyerang Anggota Tentara Nasional Indonesia

Kelompok separatis selalu memasukkan TNI sebagai sasaran serangan mereka. Mungkin sudah ada banyak sekali serangan yang mereka lakukan terhadap anggota TNI. Sementara itu, kebijakan TNI adalah melakukan pendekatan persuasif. Anggota TNI hanya bisa membalas tembakan jika mereka telah diserang terlebih dahulu.

Lima anggota TNI yang berpatroli ditembak oleh Kelompok Pidana Bersenjata (sekarang KKB) pada 16 Mei 2018. Kepala Penerangan Komando Daerah Militer Cenderawasih saat itu , Kolonel Muhammad Aidi, mengatakan bahwa tembakan terjadi di perbukitan antara Kampung Sinak dan Kampung Tirineri, sekitar tiga kilometer dari daerah pemukiman. “Kami berpatroli menggunakan tiga kabin ganda Mitsubishi Strada. Penyerang diperkirakan berada di atas sepuluh orang dan penembakan dilakukan dari jarak dekat sekitar 10 hingga 20 meter, ”katanya.

Pada 27 Juni 2018, aksi-aksi OPM yang brutal terjadi di Kabupaten Torere, Kabupaten Puncak, Papua. Kelompok Pidana Bersenjata (sekarang KKB) menyerang polisi yang melakukan pengalihan jaminan untuk pemilihan Gubernur Papua dan pemilihan Kepala Distrik Puncak. Obaja Froaro (Kepala Distrik Torere), dua anggota Polisi Distrik Puncak Jaya ditembak mati, sementara tiga anggota Polisi Nasional Indonesia lainnya belum ditemukan.

Dua prajurit TNI ditembak mati di Kabupaten Puncak Jaya pada 19 Agustus 2018. Keduanya ditugaskan memberi bantuan makanan bagi anak-anak sekolah di Desa Tingginambut untuk merayakan Hari Kemerdekaan Indonesia ke-73. Namun, keduanya ditemukan tewas di Jembatan Tingginambut dengan luka tembak dan panah di tubuh mereka.

Menyerang Pekerja Konstruksi Jalan Trans-Papua

Tidak hanya menyerang anggota TNI, tetapi Kelompok Pidana Bersenjata (sekarang KKB) juga menyerang pekerja konstruksi jalan Trans-Papua. Pada 13 Desember 2017, 16 orang tak dikenal yang dicurigai sebagai bagian dari kelompok separatis menyerang pekerja jalan Trans-Papua di segmen Wamena-Nduga. Akibat serangan itu, seorang pekerja ditembak mati di kepala, seorang prajurit menderita patah kaki, dan mereka menyita senjatanya.

Serangan terhadap pekerja konstruksi jalan Trans-Papua tidak hanya terjadi sekali atau dua kali tetapi berkali-kali selama masa konstruksi. Serangan-serangan ini, tentu saja, menghambat kemajuan dan menekankan para pekerja. Meskipun banyak jalan Trans-Papua telah berfungsi dan dapat dilalui, masyarakat sekitarnya belum berani menggunakannya karena ada risiko diserang oleh kelompok-kelompok kriminal ini. Rantai ekonomi yang ingin disambungkan oleh Pemerintah masih terputus karena masalah ini.

Mengambil Sandera Orang yang Tidak Bersalah

Kelompok Pidana Bersenjata (sekarang KKB) juga telah menyandera beberapa kali. Pada bulan November 2017, kelompok itu telah mengisolasi dua desa, Banti dan Kimberly, di Tembagapura, Timika. Sebagian besar penduduk dari dua komunitas adalah penduduk setempat sementara setengah dari mereka adalah pendatang dari Toraja (Sulawesi Selatan) dan Maluku Tenggara. Orang-orang di desa ini dilarang pergi, dan anggota kelompok ini menutup akses ke desa.

Pada April 2018, kelompok itu menyandera sebuah tim guru di Lembah Arwanop, yang terdiri dari enam guru perempuan dan tujuh guru laki-laki. Seorang korban penyanderaan, kata Rano, kelompok-kelompok kriminal bersenjata mengumpulkan para guru yang melayani di lembah, mengintimidasi mereka, memisahkan guru perempuan dari kelompok guru laki-laki, dan melecehkan mereka secara seksual. Tidak cukup bahwa kelompok itu juga melakukan kekerasan terhadap guru, menyita semua ponsel, laptop, dan bahkan pakaian mereka.

Beberapa kejahatan di atas hanyalah beberapa “perjuangan” kelompok separatis Papua Barat selama bertahun-tahun. Serangan terhadap orang non-Papua sering terjadi, menggarisbawahi bahwa mereka bertindak karena masalah rasial. Serangan terhadap anggota TNI tidak bisa lagi dihitung, bahkan korban biasanya dibunuh secara brutal. Mereka juga tidak ingin roda ekonomi Papua bergerak lebih cepat dengan menghalangi pembangunan jalan Trans-Papua; secara tidak langsung mencegah warga menggunakan jalur yang telah dibangun.

Lalu, apakah perjuangan seperti ini didukung oleh para pelindung Gerakan Papua Barat? Apakah mengambil nyawa orang yang tidak bersalah dapat secara sah dilakukan dalam pertempuran mereka? Apakah masuk akal jika orang yang berjuang untuk membela hak asasi manusia mengambil hak orang lain dan melakukan pembunuhan? Memang benar, Indonesia juga memiliki sejarah yang teduh di masa lalu. Namun, waktu telah berubah. Indonesia tidak lagi di bawah kediktatoran. Melalui demokrasi, pembangunan dan kesejahteraan Papua Barat telah menjadi fokus Pemerintah Indonesia. Jika gerakan separatis ini terus menghambat jalan Papua menuju kemakmuran, orang Papua akan selamanya hidup dalam kecemasan dan ketidakmampuan.

Mencermati uraian diatas, diperlukan upaya propaganda secara masif bahwa tindakan tegas aparat terhadap gerakan free west Papua, dilakukan sebagai salah upaya untuk meredusir aksi kekerasan mereka yang selama ini telah banyak melukai hati masyarakat. Oleh sebab itu, sudah menjadi tugas aparat untuk menghentikannya agar masyarakat dapat kembali beraktifitas seperti biasa. Disisi lain, masyarakat juga harus berpartisipasi untuk menjaga kedamaian di bumi Cenderawasih dengan tidak mudah terprovokasi oleh berita bohong yang sering disebarkan oleh gerakan free west Papua selama ini. (*)