Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Ali Mochtar Ngabalin menilai, tidak ada diskriminasi yang terjadi dalam penanganan kasus kerumunan Megamendung dengan terdakwa Rizieq Shihab. Ngabalin menyebut, pernyataan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur mengenai adanya pembedaan perlakuan dalam penindakan kerumunan di masyarakat tidaklah tepat.

“Kalau ada fakta-fakta yang disejajarkan dengan kasus Rizieq kemudian (disebut) ada diskriminasi, saya kira tidak tepat,” kata Ngabalin kepada Kompas.com, Jumat (28/5/2021). Menurut Ngabalin, kerumunan yang melibatkan Rizieq Shihab merupakan fakta.

Bahwa Rizieq Shihab dengan sengaja menggelar acara yang mengundang banyak orang di tengah pandemi virus corona. Dalam acara itu, peringatan aparat keamanan akan protokol kesehatan tak diindahkan, sehingga muncul kerumunan yang berpotensi menyebarkan Covid-19.

“Ada fakta, ada niat, ada program, dan sebagainya,” ujar Ngabalin. Menurut Ngabalin pula, tidak tepat jika diskriminasi yang disebutkan oleh majelis hakim dalam kasus Rizieq Shihab dikaitkan dengan momen kunjungan kerja Presiden Joko Widodo ke Maumere, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT), 23 Februari 2021 lalu.

Kala itu, massa memang berkerumun menyambut kehadiran Jokowi. Tetapi, kata Ngabalin, kerumunan tersebut bentuk spontanitas warga yang sebelumnya tak direncanakan presiden maupun pihak Istana. Saat itu pun petugas keamanan bekerja dengan cepat untuk mengurai kerumunan yang terjadi.

Oleh karenanya, Ngabalin enggan jika kasus kerumunan Megamendung yang melibatkan Rizieq Shihab dibandingkan dengan kerumunan warga Maumere saat menyambut Jokowi. “Dua hal yang berbeda kalau dilihat fakta-fakta yang terjadi.

Apa yang dilakukan oleh Rizieq dengan apa yang dilakukan bapak presiden kan dua hal yang berbeda. Jauh langit dengan bumi perbedaannya,” kata dia. Kendati demikian, Ngabalin meyakini bahwa dalam memutus perkara kerumunan Megamendung majelis hakim tetap berpegang pada fakta, bukan opini.