Pemerintah memberikan penjelasan mengapa ingin mengoptimalkan penerimaan negara dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) ketimbang dari pajak penghasilan (PPh). Menurut pertimbangan pemerintah saat ini tren dunia adalah mengoptimalkan pemungutan PPN ketimbang PPh, karena ada kecenderungan PPh terus menurun

Bahkan staf khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo menyebut bahwa konsep the Death of the Income Tax hari-hari ini bisa menjadi kenyataan. Sebagai catatan, konsep the Death of the Income Tax diusung oleh Daniel S Goldberg, seorang profesor hukum pajak dari University of Maryland Francis King Carey School of Law dalam buku berjudul The Death of the Income Tax: A Progressive Consumption Tax and the Path to Fiscal Reform, terbitan Oxford University Press 2013.

Mengutip pemikiran Goldberg, Yustinus menyebut saat ini semua negara semakin sulit memajaki orang dari sisi PPh karena sifat elusif dari uang, akibat perkembangan ekonomi digital. Tapi. di sisi lain ekonomi digital makin memudahkan pemajakan orang dari sisi konsumsi, karena ada teknologi yang telah terintegrasi dengan single identity dan bisa dicapture lebih baik.

“Ini yang sedang terjadi,” kata Yustinus saat berdiskusi dari dengan tema Arah Kebijakan Perpajakan di Kala Pandemi yang digelar oleh Narasi Institute, akhir pekan lalu. Yustinus menyebut dalam beberapa dekade terakhir terutama satu dekade terakhir, ada tren kenaikan penerimaan PPN. Sementara di sisi lain tarif PPh Badan mengalami penurunan. “Hal ini menjadi trend global,” katanya.

Ia menyebut semua negara-negara anggota OECD antara 2007-2017 porsi penerimaan negara dari PPh semakin berkurang. Sementara dan porsi penerimaan negara dari PPN meningkat ini yang menurut Yustinus berdasarkan kajian Daniel S Goldberg, saat ini menjadi masuk era the Death of the Income Tax.

Yustinus menyebut pajak tidak langsung alias indirect tax saat ini lebih efektif saat ini dibandingkan tahun-tahun sebelumnya dimana mobilitas orang dan modal tak seperti sekarang. Meskipun demikian, beberapa negara saat ini juga menggenjot penerimaan PPh dari korporasi untuk menghadapi pandemi. Misalnya saat Joe Biden menang dalam Pemilihan Presiden di Amerika Serikat, dirinya langsung menantang Amazon untuk membayar pajak.

“Kalau melawan Amazon akan berhadapan dengan Presiden AS, tarif mereka akan dinaikkan. Hal yang sama dilakukan oleh Inggris juga sama akan menaikkan tarif PPh, banyak negara ingin menaikkan tarif pajak.

Sementara di beberapa negara lain pilih menggunakan tarif PPN seperti dilakukan oleh 15 negara selama Covid-19. Meskipun demikian Yustinus menegaskan, Pemerintah berkomitmen penyesuaian tarif pajak tidak akan terjadi di masa pandemi, tapi menunggu ekonomi pulih. “Sekarang disiapkan semuanya. Ini tren yang terjadi PPN jadi instrumen perluasan basis pajak berdasarkan hasil OECD,” katanya.

Sementara itu, Ketua Bidang Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sutrisno Iwantono meminta agar penerapan aturan pajak yang baru khususnya penerapan objek pajak baru PPN bagi barang dan jasa menunggu sampai kondisi ekonomi Indonesia membaik.

“Sampai pelaku ekonomi hidup, karena saat ini usaha kecil menengah banyak yang belum pulih beberapa usaha besar sebagian juga masih kena dampak pandemi Covid-19,” katanya. Sutrisno menyebut fakta yang ada sekarang ini kelas menengah belum belanja karena belum yakin dengan penanganan Covid-19, sehingga ekonomi belum pulih.

Karena itulah selama masalah pandemi masih menjadi hantu bagi perekonomian Indonesia, berapapun stimulus yang dikeluarkan apakah Rp 695 triliun? harus diselesaikan, katanya. Ia meminta pemerintah fokus menyelesaikan target vaksinasi karena penanganan pandemi ini ibarat sebagai lubang bocor, kalau tidak ditambal, berapapun air yang dimasukkan akan habis.

“Istilah jangan memberi makan anjing dengan cara memotong kakinya dengan memajaki dalam kondisi sulit,” katanya. Sutrisno menyitir dalam teori ekonomi yang sederhana saat krisis seperti ini yang diperlukan adalah negara melakukan ekspansi anggaran, jangan kontraksi. “Sesuaikan variasinya degan kondisi di lapangan,”kata Sutrisno Iwantono. (*)