Pernyataan Tjahjo Kumolo, Menteri Pendayagunaan Apartur Negara, yang mendukung sikap KPK tidak memenuhi panggilan Komnas HAM, terkait TWK dan Pemberhentian 75 Pegawai KPK, adalah pernyataan yang sangat beralasan hukum.

Permasalahan TWK itu masuk dalam domain Eksekutif, dimana kewenangan itu berada pada Kemenpan, BKN, LAN, KASN dan Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) menurut UU No. 5 Tahun 2014 TTG ASN. Koalisi Masyarakat Sipil Antokorupsi, melihat permasalahan 75 Pegawai KPK yang diberhentikan hanya pada perspekstif HAM secara sepotong-sepotong, mereka tidak melihat permasalahan HAM sebagai Pembatasan HAM dan Larangan demi melindungi HAM orang lain.

Demikian dikemukakan Petrus Selestinus, Koordinator TPDI & Advokat Peradi, dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (10/6/2021). “Karena itu sikap Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi yang mendesak agar Presiden Jokowi memanggil, meminta klarifikasi, dan mengevaluasi Tjahjo Kumolo, karena pernyataannya yang mendukung sikap Pimpinan KPK tidak memenuhi panggilan Komnas HAM, adalah sikap yang offside, tidak tahu soal dan politicking,” kata Petrus Selestinus

Senada, Pakar Komunikolog, Emrus Sihombing, mengatakan pelaksanaan TWK oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah sesuai dengan perundang-undangan, dan bukan merupakan pelanggaran HAM. Pelaksanaan TWK untuk alih status menjadi ASN merupakan perintah UU. Jadi, siapa pun pimpinan KPK pasti melakukan hal itu. KPK hanya melaksanakan UU.

“Jadi, masih sangat jauh dari kemungkinan tidak sesuai dengan atau potensi pelanggaran HAM. Materi TWK disusun berdasarkan basis keilmuan dari para pihak yang membuatnya. Banyak instrumen yang hendak diukur para pembuat TWK peralihan status pegawai KPK menjadi ASN, antara lain mengukur gradasi pengetahuan atau kesadaran, konstruksi sikap, bentuk perilaku, dan kepribadian terkait dengan kebangsaan,” pungkasnya.