Utang pemerintah RI terus melonjak, dan bahkan kini telah mencapai lebih dari Rp 6.000 triliun. Jumlah utang dan bunganya yang terus bertambah, membuat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengkhawatirkan penurunan kemampuan pemerintah untuk membayarnya.

Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR, Said Abdullah pada Senin (28/6/2021) mengatakan publik tidak perlu panik berlebihan merespons utang pemerintah yang meningkat selama pandemi sebagaimana yang dikhawatirkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Per Mei 2021, utang pemerintah Indonesia meningkat 22% menjadi Rp6.418,15 triliun dibandingkan periode yang sama tahun lalu Rp5.258,7 triliun. Adapun rasio utang pemerintah per Mei 2021 mencapai 40,49%, melonjak dibandingkan posisi Mei 2020 lalu 32,09%.

Menurut Said, jumlah utang tersebut masih dalam posisi aman dari batas atas yang diperbolehkan oleh UU No.17 Tahun 2003 yaitu sebesar 60% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

“Saya kira pemerintah dimanapun tidak akan mau terbelit utang dan mewariskan utang kepada generasi berikutnya hingga menjadi beban yang tidak tertanggungkan,” ujar Said.
Dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2020, rasio defisit dan utang terhadap PDB Indonesia masih di bawah rasio yang ditetapkan dalam Perpres no.72 dan UU Keuangan Negara, namun trennya menunjukkan adanya peningkatan yang perlu diwaspadai oleh pemerintah.

BPK menyebutkan indikator kerentanan utang pada 2020 melampaui batas yang direkomendasikan IMF dan/atau International Debt Relief (IDR) antara lain rasio debt service terhadap penerimaan sebesar 46,77% melampaui rekomendasi IMF sebesar 25-35%.
Rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan sebesar 19,06% juga melampaui rekomendasi IDR sebesar 4,6-6,8% dan rekomendasi IMF sebesar 7-10%. Rasio utang terhadap penerimaan sebesar 369%, melampaui rekomendasi IDR sebesar 92-167% dan rekomendasi IMF sebesar 90-150%.

Selain itu, indikator kesinambungan fiskal 2020 sebesar 4,27% melampaui batas yang direkomendasikan The International Standards of Supreme Audit Institutions (ISSAI) 5411-Debt Indicators yaitu di bawah 0%.

Said menilai pernyataan BPK soal utang tersebut baik, tetapi kurang bijak dalam ikut serta mendorong situasi kondusif dan kerja sama antarlembaga di saat bangsa dan negara menghadap krisis kesehatan dan kontraksi ekonomi.

Ia menambahkan bila ada pertimbangan lain di luar UU, maka bukanlah yang utama dan bukan menjadi acuan BPK menyatakan pendapat untuk dijadikan landasan dalam menilai kinerja subyek pemeriksaan.

“Lebih bijak bila BPK menjadikannya sebagai rekomendasi tambahan yang sifatnya saran kepada pemerintah. Sebab yang utama dari rekomendasi BPK yang bersifat mengikat adalah ketentuan perundang-undangan,” kata Said.

Sebelumnya, Staf Khusus Menteri Keuangan (Menkeu) Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo, pada Kamis (24/6/2021) mengatakan bahwa pemerintah sepakat untuk terus waspada dan mengajak semua pihak bekerja sama dalam mendukung pengelolaan pembiayaan negara. Menurutnya, pemerintah selalu berhati-hati dalam setiap kebijakan, termasuk persoalan utang negara.

“Pemerintah senantiasa mengelola pembiayaan secara hati-hati, kredibel, dan terukur, termasuk dalam beberapa tahun terakhir ini ketika terjadi perlambatan ekonomi global. APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) berfungsi sebagai instrumen kebijakan countercyclical dengan pembiayaan sebagai alat untuk menjaga ekonomi,” kata Yustinus.

Sejalan dengan itu, katanya, pemerintah juga meningkatkan upaya reformasi perpajakan untuk optimalisasi pendapatan negara.

Yustinus mengatakan, Kemenkeu mengapresiasi kerja keras BPK dalam melaksanakan audit dan memberi opini WTP untuk Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2020, serta memberi rekomendasi bagi pengelolaan pembiayaan.

Hal ini, menurutnya menunjukkan pemerintah selalu menjaga akuntabilitas dan tata kelola keuangan negara, bahkan di masa pandemi.

Kemenkeu selama pandemi Covid-19 terus menegaskan bahwa keputusan yang diambil pemerintah merupakan kebijakan countercyclical untuk memberi stimulus dalam menjaga ekonominya, yang berimplikasi ke pelebaran defisit.

Dijelaskannya, International Monetary Fund (IMF) sendiri sudah memberikan standar aman untuk rasio utang di kisaran 25-30% per Produk Domestik Bruto (PDB) pada kondisi normal.
Dalam kondisi pandemi saat ini, hampir tidak ada negara rasio utang di kisaran itu. “Misalnya saja di akhir tahun 2020, Indonesia 38,5%, Filipina 48,9%, Thailand 50,4%, China 61,7%, Korea Selatan 48,4%, dan Amerika Serikat 131,2%,” ungkap Yustinus. (**)