Jayapura – Kelompok bersenjata di Papua dalam beberapa waktu terakhir ini terlihat terus
meningkatkan volume serangan mereka kepada kekuatan pertahanan militer
Indonesia dan juga kepada warga sipil dibeberapa daerah di Papua. Kelompok
bersenjata yang menyebutkan kelompok mereka sebagai Tentara Pembebasan
Nasional Papua Barat (TPNPB) ini melakukan serangan dan mengaku bertanggung
jawab atas setiap serangan yang dilakukan, hal itu disampaikan oleh juru bicara
kelompok tersebut melalui video singkat yang viral di media sosial.

Penyerangan yang dilakukan oleh kelompok tersebut kepada militer telah dikonfirmasi
menggunakan senjata modern dan juga bom modern, diantaranya adalah senjata
MI6A2 dengan pelontar granat buatan Amerika Serikat, AK 2000P buatan China,
Lithgow L1A1 SLR buatan Australia. (sumber :kabar24.bisnis.com, 20 April 2023).
Selain itu ada juga senjata hasil rampasan dari TNI dan POLRI buatan PT. Pindad
Indonesia.

Eskalasi konflik di Papua terjadi lagi semenjak pilot pesawat Susi Air yang berkewarganegaraan New Zealand disandera Februari lalu serta misi penyelamatan yang
dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang berakhir empat orang anggota
TNI gugur. (news.republika.co.id. 20 april 2023). Pasukan yang gugur didalam misi
penyelamatan ini disebut sebagai pasukan khusus yang sudah disiapkan, namun
melawan kelompok bersenjata tetap kewalahan. Selain itu, satu anggota TNI lainnya
juga tewas ditembak kelompok bersenjata di kabupaten Puncak, Papua Tengah.


Pengamat militer Intelijen dan Pertahanan dari Universitas Jenderal Ahmad Yani
Bandung. Dr. Connie Rahakundini Bakrie dalam channel youtube R66 Newlitics pada
Selasa, 16 Mei 2023 menyampaikan dugaannya bahwa kelompok bersenjata di Papua
ini didukung oleh tentara bayaran dari luar negeri untuk menyerang pasukan elit TNI
yang ditugaskan ke Papua untuk menyelamatkan pilot Susi Air.

Pengamat militer ini menyampaikan bahwa ada 4 grup tentara bayaran yang patut
diduga mendukung kelompok bersenjata Papua, yaitu pertama Dyncrop dari Virginia
Amerika Serikat, kedua Erinys dari Dubai, Arab, ketiga G4S yang berbasis dari
London, dan keempat desertir TNI yang memilih mendukung kelompok bersenjata
karena bayaran yang besar.

Pernyataan dari ibu Connie ini saya pikir cukup memiliki dasar yang kuat karena
memiliki beberapa bukti seperti penggunaan senjata modern yang digunakan
kelompok bersenjata tersebut dan ketepatan penyerangan yang dilakukan kepada
TNI. Namun, kita perlu lihat lebih spesifik lagi karena kelompok bersenjata yang
menyebutkan diri mereka sebagai tentara pembebasan Papua ini sudah eksis
semenjak tahun 1960 dan berbagai kegiatan militer telah mereka hadapi.

Dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini, kelompok bersenjata ini bahkan
melakukan penyerangan yang cukup besar seperti menembak mati Jenderal yang
saat itu bertugas sebagai Kepala Badan Intelijen Daerah Papua, membunuh puluhan
karyawan, memotong leher rakyat sipil dan divideokan serta melakukan berbagai
penyerangan kepada TNI dan POLRI. Saya juga teringat pada tahun 2003 lalu,
dimasa kecil saya di kabupaten Jayawijaya, kelompok ini membongkar Gudang
senjata Kodim 1702/Jayawijaya dan mengambil berbagai jenis senjata milik TNI.
Contoh lainnya kelompok ini juga menyerang dan membunuh Polisi disalah satu
polsek di kabupaten Lanny Jaya, dengan korban pada saat itu juga adalah orang asli
Papua yang bertugas sebagai Polisi kemudian mengambil senjata petugas. Banyak
penyerangan yang saya lihat dilakukan oleh kelompok bersenjata ini kepada TNI dan
POLRI serta kepada masyarakat sipil.

Jika dilihat lebih jauh, saya pikir kelompok bersenjata ini tidak didukung oleh tentara
bayaran dari luar negeri karena pasti akan terlihat dari berbagai aksi kekerasan yang
dilakukan akhir-akhir ini. Kelompok ini dapat melakukan penyerangan dan berhasil
karena mereka berperang di zona perang milik mereka, medan yang setiap hari
mereka tinggali, selain itu, beberapa suku orang Papua pada dasarnya sudah memiliki
insting perang, karena dibeberapa daerah konflik memang memiliki adat atau
kebiasaan turun menurun yaitu menyelesaikan permasalahan dengan berperang.
Insting perang ini dibangun dengan kecerdasan emosional kedaerahan yang dimiliki,
darah ganti darah, kepala ganti kepala, nyawa ganti nyawa, jadi jika dulu perang antar
suku dilakukan menggunakan senjata tradisional saat ini kelompok tersebut telah
konversikan dengan menggunakan senjata modern.

Kemudian, jika dibandingkan dengan ketangkasan pasukan khusus yang disebutkan
pengamat militer adalah 20 orang rakyat sipil banding 1 TNI pasukan khusus, karena
telah mengikuti pelatihan keras beberapa bulan atau tahun di hutan, saya sebut akan
berbeda, karena kelompok bersenjata ini bukan masyarakat sipil biasa, mereka
berlatih dihutan dengan skill berburu untuk mencari makanan dan bertahan hidup,
bahkan mereka lahir dan potong pusat juga dihutan, jadi mereka sudah sangat
menyatu dengan hutan dan alam di Papua. TNI yang datang tidak berperang dihutan
tempat mereka latihan, namun tempat kelompok bersenjata Papua tersebut latihan.
Jadi saya pikir mereka tidak mungkin menggunakan tentara bayaran. Bahkan jika
menggunakan tentara bayaran, TNI kita lebih handal dari tentara bayaran.


Pertengahan tahun 2021 lalu, Pemerintah Indonesia telah mengumumkan bahwa
kelompok bersenjata yang ada di Papua yaitu KKB atau TPN PB bukanlah kelompok
biasa melainkan kelompok yang dikategorikan sebagai kelompok Teroris. Hal tersebut
disampaikan oleh POLHUKAM RI yang kemudian mendapatkan banyak tanggapan,
ada pihak yang setuju tetapi ada juga pihak yang menyampaikan perlunya kehatihatian dalam pelebelan tersebut dengan pertimbangan collateral damage.

Masih ingatkan kita, peristiwa bersejarah yang dilakukan kelompok terorisme pada 08
September 2001 disaat kekuatan pertahanan Amerika Serikat dikejutkan dengan aksi
terorisme ke Menara World Trade Center, atau aksi terorisme yang dilakukan di
Indonesia, penyerangan di Sarinah Jakarta, bom bunuh diri di beberapa tempat
ibadah.


Bahkan yang cukup viral adalah aksi seorang wanita simpatisan ISIS yang
mempelajari tentang aksi terorisme hanya melalui internet kemudian pemahaman
tentang kegiatan terorisme terbentuk dan meyakini bahwa aksi terorisme adalah
benar, akhirnya berani masuk membawa senjata kedalam Mabes POLRI dan
menyerang anggota Kepolisian.

Saat ini, perang dimensi ke-5, dimana penggunaan teknologi menjadi hal yang perlu
mendapatkan perhatian. Perang ini dilihat sejalan dengan perkembangan terorisme
generasi ke-3 atau terorisme global. Artinya penyebaran konten terorisme dan
pengajaran untuk menjadi teroris dapat dilakukan secara daring (dalam jaringan).

Semenjak kekalahan ISIS di timur tengah, jaringan terorisme terpecah kebeberapa
negara seperti Afrika, Eropa, Asia Timur khususnya Asia Tenggara.
Di Asia tenggara sendiri khususnya Indonesia, sudah ada beberapa kelompok yang
terafiliasi kelompok terorisme dan masih aktif pergerakannya adalah Jamaah
Islamiyah (JI), Jamaah Ansharut Daulah (JAD), Jamaah Ansharut Khilafah (JAK),
Negara Islam Indonesia (NII), dan MIT (Mujahidin Indonesia Timur).

Saya mengamati aksi terorisme terus mengalami perkembangan melalui daring
karena perkembangan teknologi sehingga muncul banyak simpatisan teorisme.
Penyebaran paham terorisme melalui media sosial seperti ajakan ayo membela Isis
yang pernah disampaikan oleh salah satu ketua organisasi di Indonesia.
Perkembangan NII di daerah sumatera mengalami peningkatan setelah adanya
penangkapan 16 terduga teroris beberapa tahun lalu.

Pergerakan kelompok bersenjata di Papua dan Jaringan terorisme menunjukan
kepada kita bahwa Indonesia saat ini sedang menghadapi ancaman multidomain,
bahwa ancaman datang dari berbagai sisi yaitu secara nyata dan juga cyberwarfare.
Saya melihat dinamika ancaman perang ini sudah memasuki perang dimensi ke-5
yaitu perang kognitif.

Perang kognitif masuk melalui pemahaman baru dan intepretasi yang dibangun untuk
merusak semangat persatuan dan kesatuan bangsa, dengan hal tersebut seseorang
yang sudah terpapar akan merasa bahwa persatuan dan kesatuan bangsa tidak lebih
penting dari tindakan terorisme, radikalisme dan kriminalisme. Dengan merusak
kognitif generasi muda, maka kelompok kepentingan tersebut akan berhasil merusak
masa depan bangsa.

Secara eksplisit hal ini telah terlihat dimasyarakat bahwa banyak kelompok penentang
pemerintah hadir dimasyarakat untuk menyuarakan perpecahan, dari kelompok
terorisme, simpatisan terorisme, hingga kelompok yang dikategorikan sebagai
teorisme di Papua.

Jika saat ini telah terjadi perang dimensi ke-5 yaitu perang kognitif yang saya lihat
berhasil mendoktrin secara filosis ideologis kepada anak muda, kelompok bersenjata
Papua yang disebut kelompok teroris ini adalah hasil dari doktrin kognitif yang
dilakukan oleh kelompok sebelumnya.

Maka yang harusnya kita kawatirkan bukanlah tantara bayaran dari luar negeri, tetapi
jaringan terorisme di dalam negeri sendiri, jika setiap kelompok mengambil jalan
tengah untuk bergabung menjadi satu kekuatan untuk melawan pemerintah maka
akan lahir terorisme generasi ke-4 di Indonesia yaitu Jaringan Teroris Bersatu, antara
terorisme global (generasi ke-3) dan kelompok bersenjata Papua yang dilabel teroris,
mereka akan angkat senjata untuk memecah Indonesia dan hasilnya adalah terjadi
perang dimensi ke-6 yaitu perang yang akan melibatkan teknologi terkini, kecerdasan
buatan, satelit dan robotic.

Saya sebut perang dimensi ke-5 yang melahirkan terorisme generasi ke-4 akan
menjadi pintu masuk terjadinya perang dimensi ke-6. Oleh sebab itu persimpangan
atau interseksi tersebut perlu untuk diwaspadai dari perkembangan terorisme
dibeberapa negara termasuk perkembangannya yang pesat di Indonesia melalui
penjaringan keanggotaan dan ajaran propaganda daring yang menyerang kognisi,
serta perkembangan penggunaan senjata modern dan bom oleh kelompok bersenjata
di Papua, saya menyarankan perlu ada kehati-hatian militer dan intelijen terhadap
terbukanya ruang komunikasi antara kelompok terorisme Isis, JI, JAD, JAK, NII, dan
MIT dengan Kelompok jaringan terorisme di Papua.

Jika ruang tersebut terbuka maka tidak menutup kemungkinan ada penyeludupan
tambahan senjata modern, penggunaan robotic hingga drone, pelatihan perang
bersama, hingga perekrutan anggota demi kepentingan masing-masing kelompok.
Itulah sebabnya Presiden Soekarno katakan “Perjuanganku akan lebih muda karena
melawan penjajah, dan perjuangan kita saat ini akan lebih sulit karena melawan
bangsa sendiri”.

Kita perlu terus memberikan pemahaman tentang upaya didalam menerapkan 4
konsensus bangsa yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika,
dengan mengimplementasikan paradigma nasional yaitu Wawasan Nusantara,
Ketahanan Nasional, dan Kewaspadaan Nasional kepada seluruh warga negara
Indonesia terutama bagi generasi muda yang rentan dipengaruhi kelompok
Terorisme, Radikalisme, dan Kriminalisme. Agar generasi muda tidak mudah
dipengaurhi kognisinya oleh jaringan terorisme dalam negeri.