Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) telah dibubarkan pemerintah pada 19 Juli 2017 berdasarkan Perppu Ormas No. 2 Tahun 2017 yang kemudian menjadi UU Ormas No. 16 Tahun 2017. HTI dibubarkan karena akan menerapkan sistem Khilafah yang bersifat transnasional yakni meniadakan konsep nation state.

Menkopolhukam Wiranto (saat itu) mengatakan bahwa pembubaran HTI telah melalui proses panjang, dengan melakukan pengamatan dan mempelajari nilai yang dianut ormas tersebut. Keberadaan HTI juga dinilai meresahkan karena berdasar laporan kepolisian bahwa banyak penolakan di berbagai daerah, bahkan memicu konflik horizontal antara masyarakat yang pro dan yang kontra dengan HTI.

Selain itu, HTI jua menolak konsep dan sistem demokrasi yang diterapkan di Indonesia. HTI hanya ingin penerapan Syariat Islam dibawah sistem Khilafah Islamiyah dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Tampaknya keinginan HTI ini akan berbenturan dengan konstitusi yang ada di Indonesia, bahkan akan menimbulkan konflik antara sesama warga masyarakat karena berbeda ideologi dan faham.

Walaupun HTI sudah dibubarkan, tetapi ideologinya masih tetap hidup. Perjuangan menegakkan Khilafah versi HTI tampaknya masih akan terus diwujudkan. HTI masih eksis dan akan terus menyampaikan faham Khilafah melalui berbagai cara.

Mantan anggota HTI Jawa Timur, Ainur Rofiq al-Amin (Gus Rofiq) mengatakan walaupun HTI secara resmi sudah dibubarkan, namun bukan berarti gerakannya akan berhenti. HTI tetap akan mengusung khilafah melalui gerakan bawah tanah sampai dengan memakai ‘baju baru’. Pendek kata, gerakan HTI tetap perlu diwaspadai.

“Gerakan mereka ingin mengganti Pancasila dengan khilafah. Ini sangat berbahaya,” kata Gus Rofiq yang juga pengasuh Ribath Al Hadi II, PPBU (Pondok Pesantren Bahrul Ulum) Tambakberas Jombang.

Gus Rofiq berani mengatakan seperti itu karena dirinya sudah tahu ‘jeroan’ HTI sebab pernah aktif menjadi anggota HTI pada 1993. bahkan menjadi pengurus inti. Saat itu, tugas Gus Rofiq adalah mencari kader HTI sebanyak-banyaknya. Dia memiliki tugas bergerilya dari tokoh ke tokoh, untuk mempengaruhi agar mereka mendukung khilafah. Juga menyasar kalangan kampus, termasuk menyebarkan buletin ke masjid guna ‘menjual’ ide.

“Saya bergabung sejak masih bernama HT (Huzbut Tahrir). Belum HTI. Kerjaannya menjual ide mengganti Pancasila dengan khilafah. HTI selalu berpandangan bahwa sistem NKRI itu kufur. Saya menjadi aktivis HTI sekitar lima tahun. Melalui dinamika yang cukup panjang, akhirnya saya menyadari bahwa langkah yang saya lakukan itu salah. Hingga akhirnya saya kembali ke ‘rumah lama’. Basic saya memang di NU (Nahdlatul Ulama),”.

Gus Rofiq menegaskan, setelah dibubarkan HTI bisa lebih berbahaya karena mereka menyusup ke mana-mana. Mereka bereinkarnasi, misalnya seperti yang terdeteksi oleh polisi Jombang, dalam Komunitas Royatul Islam (Karim).

Polres Jombang pernah menyatakan HTI bereinkarnasi di wilayah Jombang dengan wajah baru bernama Komunitas Royatul Islam (Karim). Polisi mengendus komunitas ini setelah di media sosial beredar posting soal aktivitas Karim. Postingan aktivitas komunitas Karim ini muncul pada 12 Maret 2019. Postingan tersebut diambil saat komunitas Karim mengadakan kajian di sebuah masjid Desa Pandanwangi, Kecamatan Diwek, Jombang pada 23 Februari 2019. Polisi mencurigai jika komunitas Karim ini reinkarnasi dari HTI karena dalam aktivitasnya mereka membawa-bawa bendera tauhid mirip dengan yang dilakukan oleh HTI.

Sementara itu Pendiri NII Crisis Center, Ken Setiawan mengatakan orang dengan paham radikal yang sebelumnya bergabung dengan HTI membutuhkan inang atau naungan. Hal ini diperlukan karena mereka perlu media untuk tetap eksis sambil melakukan propaganda untuk mencapai tujuan ideologinya.

Menurut Ken, eks HTI sangat perlu dipantau lebih serius karena kekuatan jaringan dan aktivitasnya cukup masif. Kelompok-kelompok yang sudah dilarang tersebut diduga kuat ikut aktif dalam aktifitas politik, termasuk unjuk rasa skala nasional di Jakarta dan tempat lainnya. Ini karena ada kebutuhan dari kelompok politik untuk menggalang massa, dan kelompok tersebut juga butuh momentum untuk eksistensi dan logistik.

Keberadaan kelompok tersebut di Partai Politik bisa diamati dari keberpihakan tokoh-tokohnya terhadap partai politik atau tokohnya. Partai Politik akan menjadi inang dengan indikasi terdapat relasi kuat atau sikap yang sama dalam menyikapi isu tertentu. Ken menggarisbawahi perlu ada gerakan yang masif untuk mendukung pemerintah dalam memberantas radikalisme dan terorisme. Jika ada organisasi resmi seperti partai politik, yang karena sikap politiknya berseberangan dengan pemerintah, lalu menampung orang-orang dengan ideologi radikal, maka partai tersebut perlu diwaspadai.

Partai politik memang membutuhkan massa, tetapi jika massa yang digalang adalah orang dengan ideologi radikal, tentu sama saja dengan memasang bom waktu. Parpol yang mau menjadi inang kelompok radikal adalah ancaman bagi Pancasila.

Media online detikNews medio 12 Agustus 2007 silam pernah memuat berita berjudul “Dirikan Parpol, HTI Tiru dari Gerakan Hizbut Tahrir Dunia” Menurut detiknews rencana HTI untuk membentuk partai politik belum diputuskan resmi, namun belajar dari gerakan organisasi Hizbut Tahrir di negara lainnya, HTI mengaku siap berpolitik praktis.

Mengutip pernyataan Jubir HTI – saat jumpa pers Konferensi Khilafah Internasional di Gelora Bung Karno (GBK), Senayan, Jakarta, Minggu (12/8/2007) detiknews menjelaskan bahwa HTI sudah berpengalaman dengan pemilu karena HT pernah ikut pemilu di Lebanon dan Yordania. Namun Ismail enggan menyebutkan alasan pembentukan parpol itu. Yang jelas, Ismail menyangkal parpol yang kelak didirikan merupakan bentuk kekecewaan terhadap parpol Islam yang ada.

Hingga kini tampaknya HTI masih belum terdengar lagi apakah akan bergabung dengan parpol-parpol yang ada di Indonesia atau membuat parpol sendiri. Tetapi yang jelas aktifitas HTI tetap perlu diwaspadai mengingat faham yang dianutnya memang sudah berbeda dengan ideologi NKRI.

Semoga bisa difahami.