Media sosial masih menjadi sarana mudah penyebaran informasi palsu atau hoax dan isu Suku Agama Ras dan Antar Golongan atau SARA. Pemerintah mengkhawatirkan penyebaran melalui media sosial akan berdampak pada Pemilu dan Pilkada mendatang.

Media sosial masih menjadi favorit masyarakat di Indonesia. Data Facebook Indonesia menunjukkan pengguna Facebook di Indonesia mencapai 115 juta atau 44 persen total penduduk Indonesia. 97 persen pengguna Facebook tersebut mengakses media sosial ini melalui telepon seluler. Jumlah pengguna media sosial lainnya yaitu Instagram di Indonesia mencapai 45 juta orang. Masyarakat Indonesia dikenal aktif di media sosial karena mereka tiga kali lebih banyak dibanding rata-rata global.

Sementara itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika mengklaim internet di Indonesia sudah menjangkau 51 persen atau sekitar 132,7 juta jiwa penduduk Indonesia dan berada di urutan ke-4 di dunia.

Pemerintah juga mengapresiasi kinerja polisi membongkar pelaku yang menyebarkan hoax, kebencian, maupun tulisan provokatif bernuansa SARA di media sosial. Pemerintah sangat mengkhawatirkan jaringan pelaku tersebut akan berdampak pada penyelenggaraan Pemilu maupun Pilkada serentak 2024 mendatang.

“Ujaran kebencian, jangan sebar informasi berbau fitnah atau bernuansa negatif SARA. Rambu-rambunya sudah jelas, ada KUHP, UU ITE. Mudah-mudahan POLRI mampu mengungkap siapa dalang jaringan ini termasuk pemesannya. Jaringan ini digerakkan oleh siapa, motifnya apa, apa sekedar bisnis? Ini untuk kepentingan siapa? Harus dibongkar semua, karena ini dapat membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa.

Disisi lain, Penyidik Bareskrim Polri menyampaikan apa sanksi bagi orang yang menyebar konten kebencian SARA di media sosial? Dikutip dari klinik Hukumonline, Josua Sitompul dari Indonesia Cyber Law Community (ICLC) berpendapat dalam UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), unsur dengan sengaja dan tanpa hak selalu muncul dalam perumusan tindak pidana siber.

Perbuatan yang dilarang dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE adalah dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Sebenarnya, tujuan pasal ini adalah mencegah terjadinya permusuhan, kerusuhan, atau bahkan perpecahan yang didasarkan pada SARA akibat informasi negatif yang bersifat provokatif. Isu SARA dalam pandangan masyarakat merupakan isu yang cukup sensitif. Oleh karena itu, pasal ini diatur dalam delik formil, dan bukan delik materil.

Ancaman pidana dari Pasal 28 ayat (2) UU ITE tersebut diatur dalam Pasal 45A ayat (2) UU 19/2016, yakni: Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar.

Efektivitas pasal tentu dapat dilihat dari setidaknya dua sisi, yaitu pengaturan dan penerapan/penegakan (law enforcement). Secara pengaturan, perumusan pasal ini sudah dinilai cukup. Sedangkan, dalam aspek penerapan/penegakan pasal yang dimaksud, tentu bergantung pada tiap-tiap kasus yang terjadi atau dengan kata lain penerapan pasal tersebut relatif sulit diukur parameter efektivitasnya. (*)