Sebagaimana kita ikuti dalam pemberitaan bahwa Rizieq Shihab (RS) masih menjalani sidang atas tiga kasus pelanggaran yang disangkakan.

Kasus pertama adalah kerumunan di Petamburan. Pada kasus ini, RS ditetapkan sebagai tersangka karena menyebabkan kerumunan saat acara Maulid Nabi SAW dan pernikahan putrinya di Petamburan Jakarta pada (14/11/2020). RS dijerat Pasal 160 dan 216 KUHP.

Kedua adalah Kasus kerumunan di Megamendung. Penyidik Bareskrim Polri menetapkan RS sebagai tersangka dan didakwa pasal berlapis yakni Pasal 93 UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, atau Pasal 14 ayat (1) UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, atau Pasal 216 ayat (1) KUHP.

Kasus ketiga adalah Kasus Test Swab di RS UMMI, Bogor, Jawa Barat. Pada kasus ini RS dijerat dengan pasal Pasal 14 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. RS dijerat sebagaimana pada kasus Ratna Sarumpaet, karena dianggap menyebarkan berita bohong atau hoax.

Atas ketiga kasus tersebut banyak pihak, terutama simpatisan dan pendukungnya tidak puas dengan bermacam tudingan, seperti zalim, tidak adil, kriminalisasi ulama dll.

Padahal upaya hukum sudah dilakukan oleh RS dan Tim Hukumnya, dengan melakukan pra peradilan terhadap kepolisian. Hakim Akhmad Sahyuti yang menangani dan menyidang pra peradilan tersebut menyatakan aparat kepolisian sah dan sesuai prosedur dalam memproses RS.

“Menimbang, dari alat bukti, saksi dan ahli, hakim berpendapat penetapan tersangka didukung alat bukti yang sah. Semua proses hukum yang saat ini sedang dijalani RS sudah sesuai aturan hukum yang berlaku. Sehingga apa yang ditudingkan oleh pendukung RS dengan berbagai tudingan sebagaimana diatas, tidak mendasar,” kata hakim Sahyuti.

Selain upaya pra peradilan, RS juga melakukan eksepsi pada dua kasus kerumunan yaitu kasus kerumunan Petamburan dan kerumunan Megamendung. Namun eksepsinya yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, ditolak oleh Ketua Majelis Hakim, Suparman Nyompa.

Beberapa pihak menyatakan bahwa proses peradilan hukum atas RS sudah sesuai aturan.

Anggota komisi III DPR RI, Arteia Sahlan mengatakan peradilan RS sudah sesuai aturan dan profesional. Menurutnya, dari awal pihak kepolisian diyakini bekerja profesional dalam menindaklanjuti tindak pidana yang diduga dilakukan RS.

Arteria menyatakan, polisi bertindak atas bukti-bukti yang ada, sehingga jangan lagi ada pihak-pihak yang mengiring opini DPR dan pemerintah mengintervensi kasus hukum RS. Jangan dipersepsikan pihak kepolisian sengaja melakukan kriminalisasi terhadap RS.

“Tentunya kami ataupun Presiden Jokowi tidak bisa mengintervensi proses penegakan hukum maupun status hukum RS”.

Lebih lanjut Arteria mengatakan pihaknya selalu mengawasi Polri dalam bertindak, sehingga tidak mungkin polisi melakukan kriminalisasi dalam mengusut kasus RS.

Sementara itu Rumadi Ahmad, Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) Nahdlatul Ulama (NU), mengatakan yang dilakukan polisi sekadar penegakkan hukum biasa. Adanya tudingan kriminalisasi itu tidak benar.

“Kriminalisasi itu kalau ada orang yang tidak melakukan tindakan kriminal, terus dikriminalkan. Kalau dia memang melakukan tindakan yang patut diduga sebagai tindak pidana, itu proses penegakkan hukum biasa saja,” kata Rumadi.

Lebih lanjut Rumadi mengatakan iIstilah ‘kriminalisasi ulama’ itu sengaja digunakan sebagai strategi membangun solidaritas, seolah-olah polisi memusuhi ulama. Tapi masyarakat saya kira sudah cerdas untuk membedakan mana yang kriminal dan mana yang kriminalisasi. Rumadi juga menepis tudingan, bahwa proses hukum terhadap RS merupakan rekayasa pemerintah.

Jadi semua proses hukum yang saat ini sedang dijalani RS sudah sesuai aturan hukum yang berlaku. Sidang peradilan RS pun hingga kini masih berlangsung, biarlah pengadilan yang akan memutuskan semua perkara RS. (*)