Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada barang sembako menimbulkan polemik di masyarakat. Banyak yang menilai langkah ini hanya akan membuat masyarakat miskin semakin sengsara. Kritikan pengenaan pajak barang sembako ini muncul tidak hanya dari para ekonomi dan pelaku usaha namun dari masyarakat sendiri. Kritikan ditujukan kepada Sri Mulyani yang dianggap hanya berani menekan masyarakat kelas bawah.

Adapun rencana pengenaan PPN untuk barang sembako ini tertuang dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). RUU ini sudah masuk dalam prolegnas 2021, sehingga jika tidak ada aral melintang akan segera dibahas. Keresahan mengenai pengenaan PPN sembako ini juga dirasakan oleh pedagang di pasar tardisonal. Sebab, barang yang dijual dikonsumsi oleh masyarakat banyak.

Diketahui, barang sembako yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor 116/PMK.010/2017 meliputi beras dan gabah; jagung; sagu; kedelai; garam konsumsi; daging; telur; susu; buah-buahan; sayur-sayuran; ubi-ubian; bumbu-bumbuan; dan gula konsumsi.

Terkait hal ini Sri Mulyani memastikan bahwa kebijakan ini tidak akan menyusahkan masyarakat miskin. Sebab, pengenaan PPN tidak akan berlaku untuk produk yang dijual di pasar tradisional. “Saya jelaskan pemerintah tidak mengenakan pajak sembako yang di jual di pasar tradisional yang menjadi kebutuhan masyarakat umum,” ujarnya kepada pedagang saat berkunjung ke Pasar Santa Kebayoran.

Menurutnya, sembako yang akan dikenakan PPN, adalah produk yang tidak dikonsumsi oleh masyarakat banyak. Hanya dikonsumsi oleh segelintir orang mampu karena impor dan harganya mahal. Sedangkan sembako yang dijual di pasar seperti beras hasil petani Indonesia yakni beras produksi Cianjur, rojolele, pandan wangi, dan sebagainya tidak dipungut PPN.

“Namun beras premium impor seperti beras basmati, beras shirataki yang harganya bisa 5-10 kali lipat dan dikonsumsi masyarakat kelas atas, seharusnya dipungut pajak,” jelasnya. Ia menjelaskan, selama ini barang sembako masuk dalam kategori barang yang tidak kena pajak. Ini membuat barang-barang sembako yang premium ikut tidak kena pajak.

Oleh karenanya disusun aturan pajak PPN untuk produk sembako impor atau premium tersebut. Ini adalah contoh gotong royong dalam perpajakan, dimana yang mampu membantu yang membutuhkan melalui PPN. “Pajak tidak asal dipungut untuk penerimaan negara, namun disusun untuk melaksanakan azas keadilan,” tegasnya.

Dalam pasal 4A draft RUU KUP tersebut, selain menghapus barang yang tidak dikenai PPN, diketahui pemerintah juga menghilangkan beberapa jenis jasa yang akan tidak dikenai PPN. Jasa-jasa yang dihapus dan akan dikenai PPN diantaranya, jasa pelayanan kesehatan medis, jasa keuangan, jasa keagamaan hingga jasa pendidikan. Ini juga mendapatkan kritikan dari masyarakat terutama jasa pendidikan.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga menegaskan bahwa pengenaan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) hanya berlaku bagi sembako atau bahan pangan dengan kualitas premium. Mengutip akun instagramnya, Sri Mulyani memberikan contoh sembako yang akan dikenakan PPN diantaranya adalah Beras Basmati, Beras Shirataki, Daging sapi Kobe, Daging sapi Wagyu.

Alasan sembako premium tersebut dikenakan PPN, kata Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu, di Indonesia dijual lebih mahal, 15 kali lipat dari harga sembako biasa. Oleh karena itu, komoditas beras lokal seperti merk Rojolele hingga Pandan Wangi akan bebas dari PPN. Begitu pun daging sapi yang bukan kelas premium.

“Saya jelaskan pemerintah tidak mengenakan pajak sembako yang dijual di pasar tradisional yang menjadi kebutuhan masyarakat umum,” ujar Sri Mulyani lewat akun instagramnya @smindrawati, dikutip Rabu (16/6/2021).

Adapun berdasarkan draft Revisi Kelima Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP), daftar sembako yang akan dikenakan PPN diantaranya: Beras dan gabah ; Jagung ; Sagu ; Kedelai ; Garam konsumsi ; Daging ; Telur ; Susu ; Buah-buahan ; Sayur-sayuran ; Ubi-ubian ; Bumbu-bumbuan ; Gula konsumsi. (*)