Kampanye mengangkat isu Papua di luar Indonesia tampak mendapat amunisi setelah insiden ‘rasisme’ yang dialami mahasiswa Papua di Surabaya pada Agustus 2019 yang lalu dan kemudian menyulut kerusuhan di sejumlah kota baik di Provinsi Papua maupun Provinsi Papua Barat. Buntut dari kerusuhan tersebut, puluhan orang ditangkap, sebagian dikenai pasal makar. Upaya untuk membebaskan mereka sekarang menjadi perhatian utama kampanye isu Papua, kata pengacara HAM yang fokus pada isu Papua, Veronica Koman.

Di Inggris, dalam suatu acara kebudayaan Indonesia di kota London, tiba-tiba seorang pemuda menggelar aksi. Lewat pengeras suara, ia meminta pengunjung untuk membantu menghentikan hal yang ia sebut penangkapan semena-mena dan pembunuhan massal di Papua. “Tangkap presiden Indonesia!” Demikian seru pria tersebut dalam bahasa Inggris sambil mengibar-ibarkan bendera berdesain garis putih biru diagonal dan bintang berwarna putih dibalut warna merah. Bendera tersebut selama ini digunakan oleh Organisasi Papua Merdeka.

Di Filipina juga kerap digelar demonstrasi untuk mengangkat masalah Papua yang dilakukan oleh sekelompok orang setempat dari kalangan gereja. Kedua contoh itu dapat dijadikan indikasi bahwa isu Papua mendapat simpati di luar Indonesia, meskipun skalanya kecil.

Adapun di level lembaga dunia, United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) atau Gerakan Persatuan Pembebasan Papua Barat yang mengaku sebagai kendaraan politik seluruh rakyat Papua, telah melakukan lobi-lobi, meski sebagian justru tampak kontraproduktif.

Sebagai contoh, pemimpin ULMWP, Benny Wenda, mengaku menyerahkan petisi tentang referendum—yang diklaim diteken oleh 1,8 juta warga Papua—kepada Komite Dekolonisasi PBB di New York pada September 2017 yang lalu. Dua hari kemudian, Duta Besar Venezuela—yang juga menjabat ketua Komite Khusus Dekolonisasi—Rafael Ramirez mengatakan tidak pernah menerima petisi tentang Papua.

Apa yang dialami Benny Wenda merupakan cermin dari kendala utama ketika isu Papua diangkat di panggung resmi internasional. “Kendala utama kami dipanggung internasional sementara ini terletak pada masih negara-negara merdeka resmi anggota PBB belum keseluruhan mau mendengar aspirasi murni suara orang asli Papua,” sebut juru bicara ULMWP, Jacob Rumbiak ketika berbicara dengan BBC News Indonesia melalui telepon dari tempat tinggalnya di Australia.

“Mereka lebih banyak mendengar suara negara pemerintah negara Indonesia yang sarat akan kepalsuan dan tipu daya,” sambungnya. Pemerintah Indonesia menepis tudingan seperti itu dan menegaskan yang disampaikan ke dunia adalah apa adanya.

Senada dengan Jacob Rumbiak adalah Veronica Koman. Menurutnya, perhatian masyarakat internasional terhadap isu Papua justru berbanding terbalik dengan asumsi yang berkembang selama ini bahwa banyak kepentingan asing menyangkut Papua.

“Indonesia adalah negara yang sedang sangat diperhitungkan di dunia karena potensi kepentingan dagang dan ekonomi. Negara-negara lain kalau bisa menutup mata saja atas pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Indonesia, supaya mereka tidak perlu menyinggung Indonesia. “Tren di komunitas internasional terutama pada dekade terakhir ini, kepentingan ekonomi berada di atas kepentingan untuk menegakkan HAM, meski urusan HAM adalah urusan universal,” jelasnya.

Pemerintah Indonesia selama ini menegaskan Papua adalah masalah dalam negeri dan tidak memerlukan campur tangan asing. Jakarta memandang status Papua sudah final karena hasil Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada tahun 1969 mendukung integrasi Irian Barat ke dalam wilayah Indonesia dan hasilnya diterima PBB.

Tetapi bagi kelompok-kelompok yang beraspirasi agar Papua pisah dari Indonesia, Pepera justru menjadi pangkal persoalan. Mereka berdalih hasil tersebut tidak dapat diterima karena tidak dilaksanakan dengan cara satu orang satu suara sehingga validitasnya dipertanyakan.

ULMWP memasang target untuk mendapat dukungan dua pertiga negara-negara anggota PBB, dan sejauh ini Vanuatu bertindak selaku negara sponsor dengan dukungan beberapa negara sahabatnya di PBB.

Menjawab pertanyaan BBC News Indonesia tentang bagaimana pemerintah menangkal upaya ‘internasionalisasi’ Papua, seperti dilakukan oleh Veronica Koman dan Benny Wenda, kementerian Luar Negeri Indonesia mengatakan: “Mengenai kemungkinan adanya pihak-pihak yang ingin melihat konteks Papua dalam perspektif yang berbeda, tentu kita, pemerintah Indonesia tidak bisa mentolerir dan menerima hal-hal tadi. “Karena sepenuhnya persoalan yang kita hadapi adalah untuk terus fokus pada strategi dan kebijakan nasional dan tentu ada langkah-langkah yang harus disempurnakan atau diperbaiki lebih lanjut”. (*)